Minggu, 28 Desember 2014

Jika Kau Tanya Aku

Cinta itu seperti letupan yang terjadi bgitu saja. Meletup, lalu terjadilah sebuah keteraturan. Keteraturan rasa, keteraturan motivasi, keteraturan prioritas, dan keteraturan tujuan. Seperti Big Bang Theory, Letupan dahsyat secara tiba-tiba dari sebuah titik tunggal episentrum yang menghasilkan keteraturan tata surya.
Pertanyaannya, Siapakah yang menyebabkan ke”tiba-tiba”an tersebut?
Cinta itu seperti potensial aksi dari sebuah serabut syaraf, yang mengalirkan impuls dari satu serabut ke serabut lain, menyebar sesuai arah rambatannya, lalu timbulah cetusan aksi.
Pertanyaannya, Siapakah yang memulai potensial aksi tersebut?
Cinta itu sederhana, seperti sehelai kertas putih nan polos, yang bisa kita tulisi dengan berbagai kisah, berbagai rasa, berbagai cita, terbawa oleh pena-pena yang mengarahkannya ke arah mana.
Pertanyaaannya, Siapakah yang menyediakan kertas kosong tersebut?
Jika suatu hari nanti kau tanya aku “Kenapa engkau mencintaiku?”.
"Aku tak punya banyak alasan kenapa aku mencintaimu, karena ketika alasan-alasan itu kian pudar, berarti cintaku pun demikian. cukuplah aku mencintaimu oleh karena Yang memulai ke"tiba-tiba"an itu, Yang memulai potensial aksi itu, dan Yang menyediakan sehelai kertas kosong itu. Dia lah satu alasan yang aku percaya takkan pernah pudar." Itu jawabku.

Kaum Intelek? Katanya

Musim ujian nih, kagum sekali rasanya melihat orang-orang sekelilingku mulai mengencangkan ikat kepala mereka masing-masing, membuka lembaran-demi lembaran yang hendak mereka pahami. Akupun demikian, tersulut api semangat untuk ikut berjuang bersama mereka.
Tapi, ada satu hal yang selalu mengganggu ketenangan pikiranku setiap datangnya ujian. Ada beberapa, ah tidak, ada banyak orang yang mengaku dirinya “kaum intelek” tapi bertindak sesuatu yang membuat mereka tidak menjadi intelek. (kau tau maksudku?). Aku merasa kesal ketika melihat hasil yang didapat “yang katanya kaum intelek” itu lebih baik dari hasil cucuran keringatku sendiri. Ya kadang aku marah, tapi jika aku terus-terusan kesal artinya aku menunjukkan ketidakdewasaanku. Ya sudahlah biarkan saja mereka, biarkan saja mereka menikmati pengakuan diri mereka sebagai “kaum intelek, katanya”.
Buah manis akan terasa sangat menyegarkan pada gigitan pertama dan seterusnya, ketika kita memulainya dengan menanam benih, menumbuhkannya dengan seksama, memperhatikan pertumbuhannya, memperhatikan dau-daun yang mulai rindang, dahan pohon yang mulai kekar, akar yang mulai kuat mencengkram di tanah, serta buah-buahan yang bertumbuhan dan matang, kemudian kita memetiknya dengan tangan sendiri.
Untuk para pejuang yang masih mengencangkan ikat kepala, ingatlah bahwa tak ada cucuran keringat yang sia-sia, tak ada usaha yang sia-sia. 
Tidak ada nikmat merebah kala tak ada lelah, bukankah begitu?

Kisah : Kebetulan?


Udara pagi ini begitu menyegarkan, ia membelai seluruh rongga hidungku yang baru sembuh dari pilek sungguh terasa nikmat, selepas sholat subuh yang agak telat tadi. Entahlah, si rajin agaknya sedang terkena virus lalai akhir-akhir ini. 
Bergegas menuju stasiun kereta, agak jauh memang, tas carrierku cukup berat penuh terisi, jaket tebal tak lupa menemani perjalananku, sepatu kets, menambah terlihat penampilanku seperti mahasiswa mau mudik, ya memang begitu. 
Terlalu rajin rupanya aku datang ke stasiun, masih ada waktu satu jam menunggu kereta jurusan Semarang-Cirebon datang. Ah entah kenapa, akhir-akhir ini aku terlalu rajin dengan urusan dunia, dan malah lalai dengan urusan akhiratku, solat subuh sering kesiangan, ngaji selepas sholat dan di waktu senggang kok ya berkurang, solat sunah “alakadarnya”, oh ada apa denganku ini? 
Dampak dari ketidakdekatan ku dengan Tuhan akhir-akhir ini berdampak cukup signifikan terhadap kelapangan dan ketenangan hati. Jujur saja, akhir-akhir ini emosi kadang gak kekontrol, pikiran teralu pendek untuk memutuskan, hati terlalu kerdil untuk berprasangka baik. Hidup tak tenang rasanya.
"Kereta **** (nama kereta) jurusan Semarang - Cirebon, keberangkatan pukul 9.00 pindah ke kereta **** (nama kereta yang lain)" Suara operator stasion nampaknya menyadarkan lamunanku, oh ternyata aku pindah kereta rupanya.
Ah ramai sekali penghuni kereta hari ini, aku berjalan menyusuri gerbong kereta mencari nomor kursi. Sampailah di dekat pintu transisi gerbong, akhirnya kutemukan nomorku. Tapi kok sudah terisi orang, wajah keluarga bahagia mengisi tempat duduku hingga tak tersisa, seolah tak mempedulikan muka bingungku.
"Maaf pa permisi, ini tempat duduk saya." sapa ku sopan nan lembut, menahan wajah cemberutku dibalut dengan senyum yang berusaha ikhlas*Poker face*
"Ah iya, saya mau minta tukeran tempat duduk, adik duduk di tempat saya ya." Jawab si bapak sekenanya, sambil menunjuk ke arah kursi belakangnya, tanpa menanyakan saya setuju apa tidak dengan tawarannya. Baiklah saya mengalah.
Segera aku menyamankan diri, duduk di kursiku, ah bukan, kursi bapak yang tadi itu. Sebelahku ternyata ada ibu-ibu, aku berusaha menyapanya dengan senyuman ramah nan tipis, disertai anggukan kepala ringan.
"Maklumi saja dik, mungkin bapak tadi ingin duduk berkumpul degan keluarganya." Ibu di sampingku tiba-tiba bicara begitu, seolah mengerti cemberut yang aku sembunyikan. *poker face yang gagal rupanya*. "hehe.. iya saya maklum" jawabku sekenanya.
Kemudian obrolanku bersama rekan dudukku, si ibu, dibuka dengan pertanyaan khas ibu-ibu kalau ada anak berwajah muda, sendirian, berpenampilan ala back packer mau mudik. “Dari mana atau mau kemana dik? Mahasiswa apa sudah kerja? Kuliah di mana? Ngambil jurusan apa? semester berapa sekarang?” begitulah kira-kira. 
Hal yang bikin kikuk adalah ketika menjawab jurusan kuliah, “Saya Mahasiswa kedokteran bu.” Bukan tidak merasa bangga dan bersyukur sebagai calon dokter, tapi biasanya ibu-ibu suka nanya-nanya masalah kesehatannya, masalah kesehatan bapaknya, omnya, tantenya, sekeluarga semua ditanyain sakit apa dan obatnya apa. “Oh Tuhan tolong saya….” jerit hati seorang mahasiswa kedokteran semester 3 akhir yang baru belajar anatomi, histologi,  fisiologi, biokimia, dan IKM. Oke saya jawab dengan jujur dan setau saya apa adanya dari pertanyaan dari si ibu. Tiada dusta diantara kita ya bu hehe. 
Berlanjut pada obrolan khas ibu-ibu juga, menceritakan keluarganya, anaknya, dan lain-lain lah pokoknya banyak. Ngantuk rasanya, seperti dibawakan dongeng oleh si ibu yang satu ini, doyan bener cerita.
Sampailah pada tema obrolan yang kali ini membuatku tertegun, “Dik, kamu kan calon dokter nih, kamu muslim kan?” tanya si ibu dengan tatapan yang serius kali ini. “Iya bu saya muslim” jawabku singkat. “Jangan lupa hadirkan Allah disetiap tidak dan lakumu setiap kamu menangani pasien, hadirkanlah Allah di hatimu. Jangan lupa ibadahmu yang rajin, jangan tinggal sembahyang, jangan lupa banyak-banyak mengingat Allah di setiap ilmu yang kamu pelajari saat ini, disetiap pengetahuan yang kamu praktekan nanti. Karena kamu hanya sebagai perantara kesembuhan pasienmu nanti, Allah lah yang berkehendak mendatangkan kesembuhan. Ingatlah bahwa Allah akan mendekatkan diri kepada orang yang mendekatkan diri kepadaNya.” Lanjut si ibu.
Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala mendengar nasihat yang begitu dalam bagiku dari si ibu yang baru aku kenal itu. Ah akhirnya sampai di Cirebon, saya berpamitan dengan si Ibu yang akan menuju ke Jakarta katanya.
Aku masih tertegun akan nasihat - nasihat yang baik yang ku dapat di hari ini, nasihat yang sadarkanku dari lalainya hidup akhir-akhir ini. Sungguh kebetulan yang sangat bermanfaat, kebetulan ganti kereta, kebetulan ganti tempat duduk, kebetulan bertemu ibu-ibu “bawel”. Ah itu bukan kebetulan, Allah mengatur semuanya, mengatur pertemuan dan perpisahan seperti itu. Seperti air yang mengalir, tak bergerak secara kebetulan, ia mengalir dengan kehendakNya, mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Seperti Angin berhembus, tak berhembus secara kebetulan, ia berhembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, atas kehendakNya.
Aku yang akhir-akhir ini agak lalai, diingatkan atas kehendakNya, merupakan sebuah jawaban dari do’a yang selalu kita lantunkan “Ihdinashirootolmustaqiim”. Maka Allah tunjukkan bagi hambaNya, jalan yang lurus.
Bukan kebetulan.
Dari Anas Radhiallahu Anhu dari Nabi SAW menurut riwayat dari Tuhannya, Dia Berfirman: “Apabila hambaKu mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta, apabila ia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Apabila hambaKu datang kepadaKu berjalan, Aku datang kepadanya berlari.”
-(HR. Bukhari)

Cerpen : Mentari Senja Terbenam di Pelupuk Matamu


Mendung, langit gelap hendak menumpahkan apa yang ia tanggung selama ini, gemuruh guntur mulai bergelegar saling bersahutan, semilir angin membawa dedaunan terbang mengiringi semerbak aroma khas pertanda akan turunnya hujan.
Aku masih saja termenung di bibir jendela kamarku, memandangi satu-persatu rintik air turun, lalu serentak menyerbu, membasahi bumi sejauh mata memandang. Hari ini begitu melankolis, selaras dengan suasana hatiku saat ini.
 “Sial! Betapa bodohnya aku ini!” Teriak hatiku sambil sesekali menghela nafas berat, menahan desakan berat di dalam batinku. Ingin rasanya aku amnesia dan melupakan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupanku yang tak lagi sempurna. Kebahagiaan semu yang hendak aku raih, namun semu tetaplah semu. Malam kemarin aku melakukan kesalahan yang begitu fatal, maafkan aku, aku menyesal.
***
            “Lamunanku membawaku terbang, seolah kaki-kaki ini tak menapak, terbawa hembusan angin membawa aroma nostalgia, waktu bergerak mundur perlahan dan membawaku pada waktu kumulai kisah ini.” –Padang, 23 September 1998.
Kala itu, di tengah sisa gulita malam nan pekat, suara adzan mendayu saling bersahutan, syahdu, hendaknya mampu tentramkan jiwa-jiwa yang lelah dengan ambisi kehidupan dunia ini, merebahkan hati tuk penuhi panggilan cinta yang hakiki dari Sang Penguasa alam semesta, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Rasyid kecil sedang terlelap nyenyak dibaluti selimut hangat di atas ranjang kecilnya. “Nak, sembahyang yuk.” Belaian lembut penuh kasih itu selalu kurindukan disetiap hari disetiap subuhku. Dia lah Husein Abdul Jabbar, seorang bapak yang tangguh, penuh perhatian dan kasih sayang, yang tak mengenal lelah menjadi tauladan yang baik untuk anak semata wayangnya,   membesarkanku seorang diri, dan tetap tegar sepeninggalan ibu yang pergi setelah berjihad untuk mengenalkanku kepada dunia yang fana ini. Ayah selalu menceritakan kepadaku atas kebanggannya terhadap istri terkasihnya. Dan dia lah Asyiffa Salma, seorang wanita yang tak sempat memelukku hangat, namun aku selalu merasakan kehangatannya disetiap aliran darahku, kini mungkin dia sedang bahagia di alam kubur sana sebagai mujahid yang Allah cintai.
***
            “Sesal mendalam takkan mampu memutar balik waktu, waktu indah masa lalu adalah sejarah, tangis pedih satu menit lalu adalah sejarah, waktu yang akan datang adalah misteri, hembus napasku saat ini adalah hasil yang harus kutanggung, hasil yang harus ku tuai dari sejarah yang telah aku ukir” –Jakarta, 1 Januari 2014
Aku yang mulai beranjak dewasa, keingintahuanku yang tinggi terkadang membuat ayah kewalahan dalam mendidikku, terkesan menjadi seorang anak muda pemberontak ketika tuju tak sesuai harap, ketika tuai tak sesuai ingin. Namun sekali lagi aku katakan, bahwa ayahku adalah bapak yang hebat, satu-satunya orang yang mampu tentramkan ketika hati dan laku melampaui batas.
Tak terasa waktu bergerak begitu cepat, ketika tiba masanya aku betul-betul membutuhkan figur sebagai teladan bagi idealismeku yang sedang berkembang ini, Allah punya rencana lain.
“Suatu hari nanti, kamu harus menjadi orang yang besar, yang juga mampu membesarkan orang-orang sekitarmu, menjadi teladan yang baik bagi sekitarmu, dan yang terpenting adalah jadilah manusia yang seperti pohon berdaun rindang yang meneduhkan dan ditumbuhi buah-buahan segar yang penuh manfaat. Ayah akan selalu bangga padamu nak.”  Suara parau itu membuatku tak kuasa membendung semua rasa pedih dalam hati ini tuk tertumpah menjadi tetesan air mata haru serta rasa takut kehilangan seoarang yang begitu aku sayangi dan aku hormati sepenuh hati.
Waktu bergulir tanpa sedikitpun toleransi, ingin rasanya kuhentikan sejenak waktu ini, untuk sekedar menghela nafas tuk redam rasa sedih di hati, namun aku tak punya kuasa akan hal itu. Layaknya pesasan jeruk, waktu semakin habis disetiap tetesnya, hingga satu titik dimana tak ada yang tersisa lagi untuk diperas. Seorang bijak pernah berkata kepadaku “Suatu hari nanti, setelah kau tumbuh dewasa, coba kau tanyakan pada dirimu sendiri, Sudah engkau manfaatkan untuk apa setiap perasan jeruk di tanganmu? Apakah kau hanya merasakan pahitnya getah dari ampas yang tersisa di tanganmu itu, tanpa kau sadari bahwa tak ada yang mampu menetes lagi dari apa yang engkau peras? Atau apakah kau bisa rasakan betapa menyegarkannya apa yang kau peras itu?” Dia lah yang selalu memberiku nasihat yang penuh ketulusan, dia lah ayahku yang terbaring lemah di kamar rumah sakit dengan segala peralatan yang terpasang di tubuhnya, terlihat sangat menyiksa,  tangan ringkihnya tak lelah menggenggam tanganku, membelai kepalaku kala aku gundah, menepuk pundakku kala ia bangga, dia lah yang di akhir hayatnya tak pernah lelah untuk menyayangiku sampai hembus nafas terakhirnya, selepas sembahyang subuh terakhirnya.
Seolah dunia ini berhenti berputar. Sungguh,  ingin kuhentikan saja putaran dunia ini, ingin kubalik arah putaran dunia ini, mengembalikan waktu hingga hari dimana aku  akan mampu merubah segalanya, merubah segala akhir kisah sedih dalam hidupku hari ini, menghapus semua hal yang membuahkan sesal terdalam di hari ini, dan menjadi seorang anak yang membanggakan sesuai harapan lelaki yang terbujur kaku dihadapanku, yang baru saja mengucap syahadat yang begitu indah dihembusan nafas terakhirnya, subuh ini.
***
            “Angan hendak kugapai, ketulusan menjadi penguat langkah gontaiku, sayap-sayap kecilku mulai mengepak untuk membawaku terbang menggapai apa yang hendak kugapai, membawa satu warna yang selalu aku bawa, namun kini aku bertanya, akankah warna ini memudar, lalu berganti menjadi warna yang lain.” –Jakarta, 4 Maret 2010.
            Hari ini, hari yang begitu mendebarkan, aku diantar oleh ayah untuk melakukan tes masuk perguruan tinggi negeri ternama di Ibu Kota. Aku seolah kehilangan kepercayaan diri saat itu, melihat saingan-sainganku yang sama hendak masuk perguruan tinggi yang memancarkan tatapan penuh ambisi, aku merasa seperti butiran debu. Tiba-tiba terasa tepukan lembut di pundakku, menggenggam erat pundakku dan membuatku tersadar dari lamunan dan ketakutanku saat itu. “Nak, Allah maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya, Dia lah yang melapangkan segala urusan, Dia lah yang merancang rencana indah untuk hamba-Nya. Percayalah akan segala usaha dan ketulusanmu selama engkau mencari ilmu, serahkan semua urusanmu kepada-Nya.” Seolah ia memahami kekhawatiranku saat ini, ayah berhasil membuatku percaya diri.
            Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi. Allah punya rencana yang indah, usaha keras ku selama ini membuahkan hasil manis, kini aku resmi menjadi calon enterpreuner handal masa depan, yang kini merintis ilmu di fakultas management bisnis sesuai harapan ayah.
“Nak, ingatlah, kamu memiliki warna, orang sekitarmu memiliki warna, dan warna-warna itu sangat beragam, tapi kadang warna-warna itu bertolak belakang dengan warnamu. Tetaplah pada warna yang kau punya, bahkan lebih baik jika memberi warna yang baik bagi sekitarmu, menjadikan warnamu menjadi keteladanan bagi sekitar. Membaurlah dengan banyak warna itu nak, tapi tidak untuk  melebur.” Lelaki bijak itu memberikan nasihat sebelum aku memulai kehidupan baruku.  
Kusalami tangan yang mulai keriput itu, senyum manisnya memacu semangatku mengawali hari, tak lupa usapan tangannya di kepalaku selalu berhasil membuatku bersemangat untuk berjuang menjadi kebanggannya. Ya, saatnya aku memulai perjuanganku untuk menjadi anak laki-laki yang membanggakan.
Hari-hari berlalu, semangat mengiringi banyak kisah diperjalanan hidup baruku sebagai mahasisawa, aku harus berusaha untuk beradaptasi di kehidupan Ibu Kota, aku bukan penduduk asal, semenjak kepindahan bisnis ayah dari tanah minang ke Ibu kota. Cukup banyak teman-teman baru yang aku kenal, berbeda suku, berbeda budaya, berbeda “kasta”, berbeda agama, dan berbeda idealisme, semua penuh warna-warni yang membuat hidupku lebih beragam.
***
            “Sayap-sayapku mulai rapuh, berguguran bulu-bulu sayap ini seiring warna yang mulai memudar, terbang menyusuri tempat yang gelap, layaknya hilang arah menuju tempat yang kan kutuju” –Jakarta, 27 April 2012.
            Kehidupan tak semulus dan selembut lambayan angin senja di pantai. Kehidupan tak se-istiqomah aliran air yang mengalir dari hulu ke hilir.  Kadang, tuju tak sesuai harap, hasil tak sesuai mimpi, dan kehidupan begitu dinamis, tak selalu menyenangkan pun tak selalu menyedihkan, tak selalu baik pun tak selalu buruk dalam perjalanannya.
            Aku mulai bisa beradaptasi dengan pergaulan ibu kota yang jauh berbeda dengan tanah kelahiranku, tanah minang. Aku banyak  memiliki teman dekat, salah satunya adalah Ramon Nugroho, aku biasa memanggilnya Ramon. Dia adalah anak yang cukup populer di kampusku, memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi, namun ada kalanya dia tak ingin diganggu, menjadi seorang apatis, entah kenapa aku pun tak mengerti.
            “Syid, lu ikut gua sekarang!” Suara yang aku kenal dengan baik itu sepertinya hendak mengajakku pergi ke suatu tempat. “Kita seneng-seneng kayak biasa sama temen-temen yang lain, penat kepala gua abis ujian hari ini.” Sepertinya Ramon mengajakku ke tempat nongkrong biasanya.
Aku tiba di suatu tempat yang tak asing lagi bagiku sejak mengenal Ramon, tak ada lampu yang terang, hanya kerlap-kerlip lampu berwarna-warni, disertai suara musik disco “jedag-jedug” begitu keras disertai teriakan-teriakan euporia, ditengah remang pijar lampu warna-warni itu, samar-samar kumelihat ratusan manusia berlenggak-lenggok, menggoyangkan badan berjoget penuh syahwat, ada yang menenteng botol minuman keras, ada pula yang menenteng gadis yang berpakaian seronok. Kini aku bukan lagi anak minang yang kurang pergaulan, kini aku lebih menyerupai anak ibu kota yang gemerlap malam adalah kehidupannya.
Sejak berteman dengan Ramon, warnaku melebur hingga pudar, tak sama seperti dahulu ketika aku menjadi anak minang yang penurut akan nasihat ayahnya. Sejak saat itu, hubunganku dengan ayah merenggang begitu jauh, akulah yang menjauh, tak ingin lagi mendengar nasihat-nasihatnya yang dulu selalu aku bangga-banggakan dan aku patuhi, hati ini menjadi keras di setiap asap rokok yang kuhisap, dan di setiap aliran alkohol yang ku tenggak, bersama teman-temanku, kehidupan dunia ini seolah menciptakan euporia yang begitu dahsyat menyenangkan, aku terlena.
Alunan musik yang dimainkan DJ terdengar begitu syahdu ditelinga mabuk-ku, bagaikan lantunan musik mozart jika otak dan telingaku waras. Kepalaku manggut-manggut, pinggang bergoyang mengikuti alunan musik disco yang begitu mengasyikkan, aku tak merasa malu dan berdosa lagi menyentuh yang bukan makhromku, kesenangan dunia ini membuat hatiku buta sebuta-butanya, tumpul setumpul-tumpulnya. 
“Gimana bro hari ini? Asyik kan? Hahahaha.. dasar lo jago mabok.” Si mabuk itu berbicara alakadarnya kepada si mabuk ini, yang menanggapinya dengan tanganku yang mengangkat gelas berisi minuman haram itu, tanda aku mengajaknya minum lagi.
“Bro, lu sekarang ikut gua deh, gua mau nunjukin sesuatu yang jauh bikin lungefly.” Si mabuk itu mengajakku ke sebuah private room di ujung diskotik ini, kulihat disana ada beberapa orang yang sedang asyik menghisap serbuk-serbuk putih entah apa itu, ada pula yang sedang menyuntik dirinya sendiri, ah otak mabuk ku cukup lama untuk mendeskripsikan bahwa yang sedang mereka lakukan adalah  sedang “make”, begitulah kawan-kawanku sering bilang.
            Ramon menggulung lengan bajunya, lalu dengan lihai ia mengikat lengan atasnya dengan tali, sembari mengapit sebuah suntikan di mulutnya, sambil kepalanya manggut-manggut menikmati musik disko yang masih terdengar dari luar ruangan. “Sekali lu nyoba barang ini, lu bakal merasakan kenikmatan tiada tara deh sob!” Kemudian tanpa ragu-ragu ia menyuntikkan jarum tajam itu, aku berasa ngilu begitu melihat jarum itu menghujam lengan kurusnya.
“Ahh..” Nafasnya memberat, matanya berkedip-kedip cepat tak beraturan, sesaat setelah cairan kimia itu memasuki aliran darahnya, dia terlihat begitu menikmati momen itu.
Sesaat setelah itu, mata yang tadinya terpejam, perlahan terbuka malas melirik ke arahku. “Eh sob, lu mesti nyoba ni barang.” Sahutnya sambil mengisi suntikan bekasnya tadi dengan barang haram itu, lalu memberikannya kepadaku.
            Dengan agak sedikit ragu, aku mengambil suntikan dari tangannya, aku sangat penasaran seberapa nikmat efek euporia yang dihasilkan dari bahan kimia yang akan merasuki darahku lalu mempengaruhi otakku ini, ya, aku ingin mencobanya.
Aku meniru apa yang barusan Ramon lakukan, mengecangkan ikatan pada lengan atasku, hingga vena ku menunjol dan siap untuk disuntikkan cairan ini.
“Rasyid!!!!!” Sahutan tegas itu membuatku menghentikan jarum yang hendak aku tusukkan ke lenganku, tangan keriputnya menghentikan tanganku, menggenggamnya begitu erat, tatapannya begitu memancarkan kekhawatiran, samar-samar kulihat kilatan jernih di kedua ujung matanya, nafasnya sedikit terengah-engah, seperti habis berlari, kedua ujung bibirnya berkedut seolah menahan sesuatu dari dalam hati, melihat anaknya, Rasyid Malik bin Husein Abdul Jabbar sedang terkapar mabuk dan hendak memakai barang haram yang akan menjerumuskanku lebih dalam lagi, terjerembab dalam lubang kenistaan dunia maupun akhirat.
Entah awan mendung apa yang membuat otakku begitu keruh, membuatnya tak mampu berpikir panjang, minuman yang berkali-kali kutenggak itu membuat hati ini mengeras tanpa iba, walau melihat sesosok tua renta yang begitu berbelas kasih, yang dulu selalu menggendong, mengasuh, dan selalu menjadi teladan yang baik bagiku. Saat ini pun, tak ada tatapan marah di matanya, hanya rasa khawatir yang begitu dalam, namun tak mampu menjangkau dalamnya hatiku yang keruh saat ini, aku tak tersentuh.
“Untuk apa ayah ke sini?!!” bentakku tak berperasaan, sembari mengibaskan genggaman tangannya dari tanganku. Tiba-tiba tatapan matanya meredup, menahan rasa sakit di hati, menahan agar tak ada benci terhadap anaknya yang moralnya telah runtuh porak-poranda. Orang – orang mabuk dan sakau sekeliling kami hanya menonton adegan sinetron dihadapan mereka dengan mata malasnya masing-masing, begitupun Ramon, ia hanya menatapi kami dengan sesekali tersenyum bengis.
Namun ada yang aneh saat itu, tangan ayah bercucuran darah sejak ku kibaskan dari genggaman tanganku, “Kenapa dia?” batinku, baru ku ingat bahwa aku sedang memegang jarum suntik tadi, kulihat suntikan di tanganku, ada bercak darah. “Astaga, aku melukai ayah.” Batinku tehenyak, seolah terbangun dari mabuk, refleks aku merobek bajuku untuk membalut luka yang aku torehkan ditangannya, namun aku yakin, luka yang kugoreskan di hatinya lebih menyakitkan daripada ini.
“Ayah maafkan anakmu yang tak bermoral dan durhaka ini, aku tak bermaksud melukai ayah, ayah aku mohon, maafkan aku.” Aku merasa menyesal sekali, melukai hati seorang pria renta yang tak pernah bosan menyayangiku, suaraku terdengar semakin parau ketika hati ini mulai mendesakkan isinya untuk tumpah menjadi linangan air mata penyesalan malam itu.
“Kita pulang nak..” balasnya dengan singkat, dan tatapan mata itu begitu menyejukkan, tatapan mata yang selama setahun terakhir ini aku hindari, aku jauhi tanpa perasaan. Dia merangkulkan tangannya di pundakku, membimbing langkahku keluar dari tempat maksiat ini, mencoba menegakkan langkahku yang gontai akibat minuman yang memabukkan yang aku tenggak semalam suntuk. Aku heran, terbuat dari apa hatinya? Rasa bencinya tak mampu mengalahkan kasih sayangnya kepadaku, anaknya yang setahun terakhir ini terjerembab ke dalam pergaulan yang salah, terperosok begitu dalam ke dalam sumur yang gelap, begitu lama hingga aku nyaman dengan kegelapan ini, namun dia tak lelah menuruni anak tangga yang begitu panjang, mencariku di tengah gelapnya kesenangan dunia yang fana ini, membawaku menemukan cahaya di ujung sumur gelap yang kusinggahi ini. Dia lah ayahku, yang begitu taat menjalankan perintah Tuhannya, meneladani perilaku dan ajaran Rasulnya, dan ia tak pernah lelah mengajarkan semua itu kepadaku, hingga hari ini, aku menyesali perbuatanku yang tak mengindahkan harapnya.
***
            “Dalam gelap kutermenung, terperosok dalam sumur gelap yang begitu dalam nyaris tak berujung, namun, langkah kaki itu tak lelah menuruni anak tangga di tengah gelap, mencoba mencari dan hendak menggapaiku, merangkul bahuku, membimbingnya menaiki anak tangga menuju cahaya yang telah lama kutinggalkan. Namun langkah itu mulai ringkih, akupun mulai merasakan kekhawatiran jika aku harus melangkah sendirian menuju cahaya itu. Sampai kapankah engkau kan bertahan ayah?” –Jakarta, 31 Desember 2013
            Hari ini, rasa sesal dalam hatiku semakin menjadi, menyaksikan tubuh tua renta, yang terlihat begitu kurus, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dia lah ayahku, teladanku, terbaring tak berdaya digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Begitu terpukul, sakit terasa begitu teramat sangat ketika dokter menyatakan ayahku positif HIV/AIDS. Harusnya aku yang terbaring lemah saat ini, tertular virus yang begitu mengerikan dari suntikan bekas Ramon, sahabat semu yang hanya memikirkan dirinya, mencari teman agar sama seperti dirinya, merasakan penderitaannya, namun ia salah mengambil cara. Andai saja dia ceritakan masalahnya kepadaku, aku takkan menjauhinya oleh karena dia ODHA, bahkan mungkin kita bisa melangkah bersama dalam perbaikan diri, menjadikan hidup lebih berkualitas, pantas saja Ramon yang terkenal percaya diri itu, terkadang menjadi sosok yang introvert, mengasing, dan kehilangan kepercayaan dirinya, dan sekarang aku mengerti kenapa. Namun, andai tetaplah andai, sejarah tetaplah sejarah yang takkan bergulir kedepan tuk sekedar diperbaiki. Aku mendapatkan kabar bahwa Ramon telah meninggal dunia 5 bulan lalu akibat penyakitnya yang hendak ia tularkan kepadaku setahun lalu, namun kini kenapa harus ayahku yang menanggung semua ini. Tak henti-hentinya sesal ini merajam hatiku, menguras air mataku yang tiada henti mengalir, setiap melihat ayahku tersenyum tegar menahan semua rasa sakitnya, menahan semua kerapuhan dalam dirinya.
            “Nak, bangun nak.” Aku terbangun dari tidurku di tepi ranjang dimana ayahku terbaring lemah, ayah mengajakku solat tahajud bersama. Kulihat jam, jarumnya menunjukkan bahwa sekarang jam 3 pagi. Selapas Qiyyamu lailayah memberikan sebuah buku catatan harian kepadaku, ia berpesan kepadaku untuk membacanya suatu hari nanti ketika aku telah memiliki seorang anak.
Suara adzan berkumandang begitu nyaring, memecah heningnya pagi tahun baru masehi 2014, ayah kembali mengisyaratkanku untuk menjadi imam sholat subuh berjamaah bersamanya. Ketika aku duduk tasyahud akhir, tiba-tiba Ayah berusaha mengeraskan bacaan syahadatnya, dengan suara yang begitu parau dengan nafas beratnya, aku tak kuasa menahan gejolak di dada ini, ingin segera kuselesaikan bacaan tasyahud akhirku, segera kuakhiri salam terakhir sholat subuhku, kuhampiri ayah, kugenggam tangannya, dengan suara parau kumenahan tangis, membimbing ayahku untuk bersyahadat “Asyhadu’alaa ilaa ha illallaah..” tak kuasa air mataku menetes, menyaksikan ayah sekuat tenaga untuk bernafas, “Asyh.. Asyhadu.. Alaa ilaa ha.. illallaah..” Seolah melepaskan semua beban, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menangis tersedu-sedu, tak kuasa aku menahan suara tangisku, begitu pedih kurasakan, ingin rasanya ini hanya sebuah mimpi dan ingin aku segera bagun, namun, ini bukanlah mimpi, ayah yang selalu menyayangiku sepanjang hayatnya kini telah berpulang kepada Allah yang Maha berhak untuk memiliki semua ciptaannya.
***
“Sahabatku, kini engkau temani aku semenjak pemilikmu tak lagi mampu memilikimu, bukan karena ia mencampakkanmu, namun ia hanya sudah seharusnya pulang kampung, meninggalkan kampung dunia ini menuju kampung akhirat yang kekal. Waktu terasa begitu singkat sahabat, sahabat lamamu meniggalkan sosok bayi mungil nan lucu di hembus nafas terakhirnya, sungguh ia mujahid sejati.”- Novemver, 1991.
“Aku sangat bahagia melihat anakku yang mulai tumbuh besar, tak terasa sudah 7 tahun semenjak sahabat lamamu pergi, ia meninggalkan anak yang sungguh ceria walau tanpa kehadiran sahabat terkasihmu, aku tak henti-hentinya menceritakan keteladanan ibunya, dan aku pun takkan lelah menjadi teladan yang baik untuknya”-Agustus, 1998.
“Aku mulai renta sahabat, dokter memvonis bahwa hidupku takkan sampai lima tahun dari sekarang, karena cancer yang aku derita, aku tak mau memberitahu anakku, ia tak perlu khawatir. Anakku sekarang mulai tumbuh menjadi lelaki dewasa, memulai untuk mencari jati diri, mencari warnanya sendiri, perbedaan usia yang cukup jauh membuatku terkesan terlalu kolot untuk menjadi sahabatnya, ideologiku mungkin saja tak sejalan dengan ideologinya, aku khawatir warna ceria dan semangat juang yang diwariskan ibunya memudar, namun sekali lagi aku katakan kepadamu sahabatku, aku takkan pernah lelah menjadi teladan baginya. Aku harus tetap kuat ditengah kerapuhanku.” Maret, 2010.
“Kekhawatiranku nyata adanya, masa pencarian jati dirinya, membuat anakku menjadi sosok pembangkang, tak lagi mau mendengar nasihat-nasihat kolotku, namun amarahku takkan mampu mengalahkan kasih sayangku, dan aku tetap akan tepati janjiku, aku takkan lelah menjadi teladan baginya. Kekhawatiranku semakin menjadi, ketika ia memiliki kawan yang bernama Ramon, aku tahu ia bukan kawan yang baik untuk anakku, aku menasihati anakku agar pandai menjaga diri, jangan sampai ia melebur kehilangan warna, namun ia tak mau dengar. Aku hanya mampu berdo’a yang terbaik untuk anakku.”Februari, 2012.
“Sahabat, malam ini aku begitu gelisah, telponku tak kunjung diindahkan oleh anakku, aku hanya ingin mendengar kabar kalau dia baik – baik saja, aku mendapat informasi bahwa ia pergi bersama Ramon ke tempat yang akan menjerumuskannya lebih dalam. Aku tak kuasa menahan rasa khawatirku, aku bergegas menuju ke tempat itu, berlari di tengah riuh syahwat keduniaan, membuka pintu sebuah ruangan, benar saja ada anakku yang sedang terkapar mabuk, memegang jarum suntik, untung saja aku tak terlambat, walau tanganku harus terluka malam ini. Nak, kembalilah, aku mohon.” Desember 2012.
“Penyakit cancer yang kuderita mulai membuatku tak berdaya, menggerogoti seluruh tubuhku, aku mulai semakin rapuh, ditambah lagi dokter memvonisku HIV/AIDS. Aku tak sedih, bahkan aku bersyukur tak terlambat saat itu, jika saja aku terlambat, anakku lah yang mungkin terbaring bersama ayahnya yang mengidap cancer, dan ia mengidap HIV, syukurlah aku tak terlambat. Sahabat, mungkin tak lama lagi aku akan menitipkanmu kepada sahabat barumu, anakku. Aku sudah cukup letih menahan sakitnya sekujur badanku, akupun tak sabar bertemu kekasihku, semoga saja Dia mau menerimaku disisiNya dalam keadaan yang baik. Sahabat, jagalah selalu sahabat barumu, mungkin ini pesan terakhirku, lantunan adzan subuh hari ini begitu indah sahabat, tak pernah seindah yang kurasakan selama hayatku.” –Januari, 2014.
            “Dan dia lah ayah terhebatku, yang menjadi teladan hingga akhir hayatnya, dialah kakekmu nak.” Aku takkan lelah menjadi teladan bagimu. Menjadi matahari yang tak pernah lelah menerangi hari-harimu, menghangatkan dinginmu, dan ketika senja tiba, aku akan menjadi yang terbenam dan meredup di pelupuk matamu, yang menjadi lembayung mega merah yang menentramkan, memberi arti dan keindahan hingga senja berakhir, dan engkau siap tuk menjadi mentari esok pagi, menggantikanku.
TAMAT.

Selasa, 21 Oktober 2014

Permataku, engkau berharga

Permataku, engkau berharga sayang, engkau cantik menawan banyak hati tuk menggapaimu.
Permataku, engkau yang kusayang, tak rela hati ini kala ada yang menjamah hatimu.
Permataku, kini engkau telah tumbuh dewasa. Aku hendak menjagamu, bukan menghakimimu.
Permataku, hijabmu bukan kekangan untukmu, tapi itu brangkas baja yang melindungimu, hingga orang segan tuk menjamahmu, karena engkau berharga.
Permataku, hijabmu bukan sekedar kau kenakan tuk menutupi ragamu, hendaknya menjadi teladan akan akhlaqmu, hendaknya hijabmu ingatkanmu bahwa dirimu berharga sayang. hendaknya hijabmu ingatkanmu betapa cerewetnya aku ketika menasihatimu.
Permataku, ingatkah pertanyaanku saat itu? “Apakah kamu menganggap dirimu berharga?” maka jika kamu anggap dirimu berharga, hendaknya hanya orang yang berharga pula yang mendapatkan hatimu, yaitu orang yang bersabar hingga ia dan engkau siap dan pantas untuk merangkai kisah yang indah. Semua ada waktunya, semua ada masanya.
Permataku, hanya untaian do’a dariku yang bisa kuberikan saat ini kala kita jauh.
Permataku, jadilah tetap berharga, menjadi kebanggaanku, kebanggaan orangtua kita.
Do’a ku menyertaimu dek.

Senin, 20 Oktober 2014

KITA

Kita adalah kita yang saat ini, merangkai nada dijalan masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, goreskan kisah dijalan masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, mencari apa yang hendak dicari di jalan masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, bangkit dari kelam perbaiki diri di jalan masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, menjadi pribadi yang lebih baik di jalan kita masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, terpisahkan jarak yang sangat jauh dan berjalan di jalan masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, memegang teguh pendirian di jalan masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, iman kita yang membuat kita berada di naungan yang teduh di jalan kita masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, berjanji untuk menjadi pribadi yang sukses di jalan kita masing-masing.
Kita adalah kita yang saat ini, mengukir jejak, menyusuri terowongan panjang yang diujungnya terlihat setitik cahaya yang kian membesar seiring berjalannya waktu, seiring hentakan langkah di jalan kita masing-masing.
Kadang aku merindukan kita yang belia, yang tak perlu terus bertanya dalam hati “Akankah kita bertemu di persimpangan jalan itu suatu hari nanti? Lalu berjalan bersama di jalan yang sama, bukan jalan kita masing-masing. Merangkai nada, menggores kisah, mencari banyak hal, menjadi pribadi yang baik, serta memperkokoh iman di jalan yang sama yang kita tapaki.”
Duhai engkau yang satu hari nanti menjadikan “aku” menjadi “kita”, Allah punya rencana yang indah yang tidak kita ketahui, Allah punya puisi indah yang telah tertulis di lauhul mahfuz-Nya yang tidak kita ketahui. 
Kita adalah kita yang saat ini, yang terus percaya ada hal indah di persimpangan jalan sana, entah itu aku menjadi kita, ataukah kamu menjadi kalian, ataukah aku menjadi kami. Semua terangkai indah, syahdu dalam lantunan simfoni kuasaNya.

Senin, 22 September 2014

Mengukir Jejak

Seperti manusia pada umumnya, aku juga adalah seorang yang punya mimpi, cita-cita, serta seseorang yang idaman, yang ingin semua itu dapat tercapai. Manusiawi kah?
Suatu hari, tiba-tiba hati merasakan keresahan yang teramat. Tak seperti biasanya, tak setenang biasanya, hati begitu gundah memikirkan hal yang masih jauh di depan.
berawal dari curahan hati seorang sahabat yang kehilangan semangat mengejar sang idaman, dia bilang “terkadang kita hanya memandang keatas, tanpa kita sadari kita sedang meluncur untuk tersungkur.”. Sebuah ungkapan pesimistis yang sangat berpengaruh, magis.
Hati terasa gontai, terombang - ambing layaknya ilalang tersapu angin, bergerak sekehendak angin membawa. Merenung cukup lama, bisikan-bisikan pesimis merasuk, meracuni hati. “Apakah sudah benar langkah yang aku ambil ini? prinsip ini? bagaimana jika semua keyakinan ini hanya optimistis semu yang justru akan membuatku tersungkur dan tak mampu memandang keatas lagi, toh puncak yang hendak kupijaki tak pernah tahu kalau aku hendak datang.” Jerit hati yang gundah kala itu.
Hati bertambah gundah ketika teringat bahwa perjalanan ini teramat panjang, tak cukup hanya sampai sarjana, masih panjang jembatan yang hendak aku lalui hingga aku mampu untuk mengukir jejak di puncak sana. Akankah puncak itu sudi tuk menerima jejak kakiku? yang terlalu lama tak kunjung datang? Mungkinkah sebelum kuukir jejak langkahku di puncak itu, telah ada jejak lain yang singgah dan lebih dulu pantas untuk menggapaimu?
Layaknya buih yang terombang-ambing oleh ombak yang dahsyat, hati gundah ini tak tau arah. Astagfirullah, tersentak hati ini kala gundah, terbangun di gulita malam, seolah aku terlupa akan sesuatu yang penting. Ya, kesalahan terbesarku adalah aku lupa bahwa hati gundah ini ada Yang Memiliki, Yang Maha Mampu membolak-balik hati, Yang Maha Mampu melapangkan atau menyempitkan hati ini. Pada akhirnya buih ini sampai pada permuaraan, sujud berserah diri, merendahkan hati ini serendah-rendahnya kepada Sang Penguasa Hati, permuaraan itu. Ihdinashirootolmustaqiim Tunjukkanlah hamba pada jalan yang lurus.
Terang saja hati ini tak menentu, Aku hanya rindu bersua dan bercengkrama dengan Yang Maha Mendengar, aku hanya terlalu sombong dengan segala kesibukan duniaku hingga aku lalai untuk khusuk merayu kepada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Hati ini kembali menemukan jalannya, dan kembali mengukir jejak-jejak penuh makna, hingga entah kapan akan kuukir jejak langkahku di puncak itu.
BERSAMBUNG

Rabu, 06 Agustus 2014

Mengangkat Senjata? di Negeri yang "aman"?

           Mengajak kepada jalan Allah, mengajak pada kebenaran, haruslah dilakukan dengan cara hikmah, dengan cara yang baik, dengan membawa sebuah keteladanan, menciptakan kedamaian, menebarkan ketentraman dan membawa din ini sebagai rahmat bagi seluruh alam. 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." [An Nahl : 125]
        Sudah jelas kan perintahNya? Lalu kenapa engkau masih saja bersikukuh untuk mengangkat senjatamu, menebarkan teror, menyakiti, bahkan membunuh, dengan mengatasnamakan jihad fii sabilillah? 
        Saya cukup geram dengan gerakan-gerakan militansi yang mengatasnamakan agama yang penuh rahmat ini tapi tak mencerminkan akhlaqul karimah, akhlaq terpuji seorang muslim.
        Saya tidak berbicara keadaan di negeri yang diserang kaum kafir dengan segala kekerasannya, memang sangat perlu dalam  keadaan tersebut mengazamkan diri untuk mengangkat senjata untuk mempertahankan diri dan agama. Tapi saya berbicara di negeri yang secara jasadiyah masih aman, jauh dari invasi fisik kaum kafir, negeri dengan toleransi yang masih tinggi dalam berhubungan sesama manusia layaknya Indonesia.
         Pertanyaannya? Apakah dengan memusnahkan kedamaian dengan beriskukuh membawa Islam dengan cara kekerasan akan betul - betul berhasil membawa Islam pada masa kejayaan? Dengan akhlaq yang tercela? Apakah engkau yakin wahai yang mengaku para mujahhid yang menenteng senjata di negeri yang "aman" ini?
            Bukan senjata-senjatamu yang umat Islam butuhkan, bukan kekuatan dan "kebodohanmu" yang umat Islam butuhkan, juga bukan kebanggaanmu membunuh kaum kafir yang umat Islam butuhkan. Tapi Akhlaq karimah mu yang kami butuhkan, teladanmu yang kami butuhkan, hafalan dan pengamalan al qur'anmu yang kami butuhkan.
             Apakah engkau masih punya orang tua wahai engkau yang mengaku mujahhid? Maka berbaktilah engkau kepadanya, sungguh itupun jihad yang begitu mulia seperti apa yang telah Rasulullah SAW sampaikan.
           Apakah engkau berkemampuan untuk menikah? Maka menikahlah, bentuklah keluarga yang baik, bina lah istri dan anak-anakmu hingga menjadi generasi perubahan bangsa, menjadi para penghafal qur'an dan mengamalkan qur'an dalam kehidupan sehari-hari, hingga suatu hari nanti kejayaan islam akan muncul layaknya matahari terbit yang menyinari bumi dari gelap pekatnya malam dengan generasi-generasi qur'ani yang engkau bina.
            Bukankah itu lebih baik? Bukankah itu sesuai perintahNya? Membawa kedamaian, mengajak kepada jalan Rabb dengan hikmah. Wallahu'alam bissawab.