Minggu, 28 Desember 2014

Kisah : Kebetulan?


Udara pagi ini begitu menyegarkan, ia membelai seluruh rongga hidungku yang baru sembuh dari pilek sungguh terasa nikmat, selepas sholat subuh yang agak telat tadi. Entahlah, si rajin agaknya sedang terkena virus lalai akhir-akhir ini. 
Bergegas menuju stasiun kereta, agak jauh memang, tas carrierku cukup berat penuh terisi, jaket tebal tak lupa menemani perjalananku, sepatu kets, menambah terlihat penampilanku seperti mahasiswa mau mudik, ya memang begitu. 
Terlalu rajin rupanya aku datang ke stasiun, masih ada waktu satu jam menunggu kereta jurusan Semarang-Cirebon datang. Ah entah kenapa, akhir-akhir ini aku terlalu rajin dengan urusan dunia, dan malah lalai dengan urusan akhiratku, solat subuh sering kesiangan, ngaji selepas sholat dan di waktu senggang kok ya berkurang, solat sunah “alakadarnya”, oh ada apa denganku ini? 
Dampak dari ketidakdekatan ku dengan Tuhan akhir-akhir ini berdampak cukup signifikan terhadap kelapangan dan ketenangan hati. Jujur saja, akhir-akhir ini emosi kadang gak kekontrol, pikiran teralu pendek untuk memutuskan, hati terlalu kerdil untuk berprasangka baik. Hidup tak tenang rasanya.
"Kereta **** (nama kereta) jurusan Semarang - Cirebon, keberangkatan pukul 9.00 pindah ke kereta **** (nama kereta yang lain)" Suara operator stasion nampaknya menyadarkan lamunanku, oh ternyata aku pindah kereta rupanya.
Ah ramai sekali penghuni kereta hari ini, aku berjalan menyusuri gerbong kereta mencari nomor kursi. Sampailah di dekat pintu transisi gerbong, akhirnya kutemukan nomorku. Tapi kok sudah terisi orang, wajah keluarga bahagia mengisi tempat duduku hingga tak tersisa, seolah tak mempedulikan muka bingungku.
"Maaf pa permisi, ini tempat duduk saya." sapa ku sopan nan lembut, menahan wajah cemberutku dibalut dengan senyum yang berusaha ikhlas*Poker face*
"Ah iya, saya mau minta tukeran tempat duduk, adik duduk di tempat saya ya." Jawab si bapak sekenanya, sambil menunjuk ke arah kursi belakangnya, tanpa menanyakan saya setuju apa tidak dengan tawarannya. Baiklah saya mengalah.
Segera aku menyamankan diri, duduk di kursiku, ah bukan, kursi bapak yang tadi itu. Sebelahku ternyata ada ibu-ibu, aku berusaha menyapanya dengan senyuman ramah nan tipis, disertai anggukan kepala ringan.
"Maklumi saja dik, mungkin bapak tadi ingin duduk berkumpul degan keluarganya." Ibu di sampingku tiba-tiba bicara begitu, seolah mengerti cemberut yang aku sembunyikan. *poker face yang gagal rupanya*. "hehe.. iya saya maklum" jawabku sekenanya.
Kemudian obrolanku bersama rekan dudukku, si ibu, dibuka dengan pertanyaan khas ibu-ibu kalau ada anak berwajah muda, sendirian, berpenampilan ala back packer mau mudik. “Dari mana atau mau kemana dik? Mahasiswa apa sudah kerja? Kuliah di mana? Ngambil jurusan apa? semester berapa sekarang?” begitulah kira-kira. 
Hal yang bikin kikuk adalah ketika menjawab jurusan kuliah, “Saya Mahasiswa kedokteran bu.” Bukan tidak merasa bangga dan bersyukur sebagai calon dokter, tapi biasanya ibu-ibu suka nanya-nanya masalah kesehatannya, masalah kesehatan bapaknya, omnya, tantenya, sekeluarga semua ditanyain sakit apa dan obatnya apa. “Oh Tuhan tolong saya….” jerit hati seorang mahasiswa kedokteran semester 3 akhir yang baru belajar anatomi, histologi,  fisiologi, biokimia, dan IKM. Oke saya jawab dengan jujur dan setau saya apa adanya dari pertanyaan dari si ibu. Tiada dusta diantara kita ya bu hehe. 
Berlanjut pada obrolan khas ibu-ibu juga, menceritakan keluarganya, anaknya, dan lain-lain lah pokoknya banyak. Ngantuk rasanya, seperti dibawakan dongeng oleh si ibu yang satu ini, doyan bener cerita.
Sampailah pada tema obrolan yang kali ini membuatku tertegun, “Dik, kamu kan calon dokter nih, kamu muslim kan?” tanya si ibu dengan tatapan yang serius kali ini. “Iya bu saya muslim” jawabku singkat. “Jangan lupa hadirkan Allah disetiap tidak dan lakumu setiap kamu menangani pasien, hadirkanlah Allah di hatimu. Jangan lupa ibadahmu yang rajin, jangan tinggal sembahyang, jangan lupa banyak-banyak mengingat Allah di setiap ilmu yang kamu pelajari saat ini, disetiap pengetahuan yang kamu praktekan nanti. Karena kamu hanya sebagai perantara kesembuhan pasienmu nanti, Allah lah yang berkehendak mendatangkan kesembuhan. Ingatlah bahwa Allah akan mendekatkan diri kepada orang yang mendekatkan diri kepadaNya.” Lanjut si ibu.
Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala mendengar nasihat yang begitu dalam bagiku dari si ibu yang baru aku kenal itu. Ah akhirnya sampai di Cirebon, saya berpamitan dengan si Ibu yang akan menuju ke Jakarta katanya.
Aku masih tertegun akan nasihat - nasihat yang baik yang ku dapat di hari ini, nasihat yang sadarkanku dari lalainya hidup akhir-akhir ini. Sungguh kebetulan yang sangat bermanfaat, kebetulan ganti kereta, kebetulan ganti tempat duduk, kebetulan bertemu ibu-ibu “bawel”. Ah itu bukan kebetulan, Allah mengatur semuanya, mengatur pertemuan dan perpisahan seperti itu. Seperti air yang mengalir, tak bergerak secara kebetulan, ia mengalir dengan kehendakNya, mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Seperti Angin berhembus, tak berhembus secara kebetulan, ia berhembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, atas kehendakNya.
Aku yang akhir-akhir ini agak lalai, diingatkan atas kehendakNya, merupakan sebuah jawaban dari do’a yang selalu kita lantunkan “Ihdinashirootolmustaqiim”. Maka Allah tunjukkan bagi hambaNya, jalan yang lurus.
Bukan kebetulan.
Dari Anas Radhiallahu Anhu dari Nabi SAW menurut riwayat dari Tuhannya, Dia Berfirman: “Apabila hambaKu mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta, apabila ia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Apabila hambaKu datang kepadaKu berjalan, Aku datang kepadanya berlari.”
-(HR. Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar