Rabu, 25 Desember 2013
Surgapun Kalah Tinggi
Sabtu, 21 Desember 2013
Aku dan Simfoni Bisu
Tatkala aku termenung, tak tahu apa yang harus kuperbuat, seolah detik, menit, jam, hari, bulan, bahkan tahun melambaikan tangannya, berlalu begitu saja. Padahal hati masih rindu, namun waktu tak kenal rindu, lambaian tangannya mungkin hal terakhir yang terlihat, tanpa memalingkan wajahnya. Ya benar! Waktu tak kenal rindu, karena itu dia takkan kembali.
Tatkala hati rindu akan waktu, tatkala hati ingin slalu bermesraan dengan waktu, tatkala hati ingin waktu selalu berarti, maka hanya kenangan yang tertinggal oleh waktu, tersimpan dalam laci ingatan yang kadang usang dan terlupakan.
Gajah mati tinggalkan gading, singa mati tinggalkan belang, waktu pergi tinggalkan kenangan bersama pemikiran besar yang tersimpan rapi namun fana, ikut tenggelam bersama raga yang takkan lagi mampu tuk rindukan waktu.
Aku takkan rela jika setiap kenangan, ide, pemikiran, serta perasaan yang tersimpan rapi dalam laci ingatanku ikut mati bersama raga yang fana ini.
Oleh karena itu, simfoni bisu menjadi saksi, simfoni tak bernada menjadi kemesraanku bersama waktu kala raga takkan mampu lagi rindukan waktu.
Bagiku, tulisan adalah simfoni bisu, tak dapat didengar namun indah dirasa. Dinamika kata layaknya nada yang terangkai syahdu, dinamis, sampaikan pekik pesan dari cakrawala pemikiran yang melanglangbuana mengarungi panggung megah orkestra kehidupan. Hingga jasad sudah tak nampak lagi, hingga akal tak dapat lagi bergaung, namun cakrawala pemikiran akan tetap bernyawa, mengalun indah bersama simfoni bisu.
Selagi kaki masih bisa melangkah, selagi tangan masih bisa berbuat, selagi mata masih bisa melihat banyak hal, selagi telinga masih bisa mendengar, dan selagi visi masih tak bertepi, akan kutapaki setiap jejak kehidupan nyata, akan kulihat banyak hal, akan kusimpan dalam sebuah laci ingatan, tertuang dalam simfoni bisu, penuhi coretan indah dalam kertas kosong kehidupan. Hingga suatu saat nanti raga tak disinggahi nyawa, namun pemikiran ini akan tetap hidup tertuang untuk diambil kebaikan darinya.
"Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang, manusia mati tinggalkan pemikiran dan mimpi besar yang tetap hidup."
-fauzianrifqi-
Rabu, 11 Desember 2013
Ujung Pedang
"Demi masa. Sesungguhnya manusia ada dalam keadaan merugi. Melainkan orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh, dan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran" (Q.S Al Asr : 1-3)
Tanpa kita sadari diri kita tersayat-sayat, teriris-iris bahkan terpotong-potong saat kita lupa bahwa waktu takkan menghentikan langkahnya.
Terbuai dengan nikmat duniawi, terhasut dengan pandangan semu, terayu dengan lambaian dunia yang fana, mengalihkan perhatian kita, sehingga kita lupa ada pedang tajam yang siap terhunus menebas leher kita setiap saat tanpa kita tahu kapan dan tanpa kita sadari.
Kita benar-benar dalam keadaan merugi, waktu terus berkurang tanpa kenal toleransi, waktu takkan menolehkan wajahnya tinggalkan ratapan sesal yang tak ada artinya.
Waktu terlalu berharga jika kita hanya biarkan berlalu tanpa ada arti di setiap guliran lenyapnya waktu, waktu terlalu berharga untuk hanya sekedar dihiraukan tanpa menggoreskan manfaat disetiap hilangnya waktu.
"Layaknya ujung pedang tajam yang terhunus ke leher yang siap tertebas kapanpun, itulah waktu" -Fauzianrifqi-
Senin, 09 Desember 2013
Kabut
Senin, 9 Desember 2013. Gerimis menyirami Semarang malam ini seperti malam-malam biasanya. Cukup melelahkan juga praktikum bebas anatomi hari ini, selain materi yang sulit, stres mental besok ujian iden anatomi juga menambah rasa lelah malam ini. 21.00 WIB akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena lelag. Kulihat di luar laboratorium, tak seperti biasanya malam ini berkabut, tak setipis fascia scarpa, cukup tebal seperti fascia camper hingga aku harus menggunakan lampu jarak jauh pada motorku. Ku pacu 'si hitam nan tangguh' kesayanganku perlahan agar dingin tak terlalu menusuk, tapi tetap saja udara dingin sangat tak bersahabat malam itu, seolah aku ditelanjangi dari jaket tebal yang aku kenakan, dingin sekali.
Dikala kabut menyelimuti malam, udara dingin yang tak bersahabat, jalanan sepi layaknya rumah tak bertuan, kubayangkan seperti hati yang seolah jauh dari yang menganugerahkan perasaan. Gelap, semu, dingin, hampa tak dapat merasa. Terkadang aku pun berada dlm posisi itu saat aku lupa ada Yang Maha membolak-balikan hati, lupa merayu pada Yang Maha Besar yang memainkan benang kendalinya pada hati ini. Saat hati terasa jauh, layaknya aku memutuskan benang-benang kendali itu hingga hati ini terombang-ambing tanpa kendali. Dingin, hampa, gelap, terasa jauh dari dekapan hangat kasih Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Satu minggu kemarin entah kenapa aku terlalu lalai sebagai seorang hamba yang patutnya memuja pada Sang Maha Kuasa, hati terasa hampa, dingin, kosong, takut, hingga perasaan buruk sangka sering menerka jiwa. Hari ini aku tersadarkan oleh kabut yang Allah hadirkan selimuti malam ini, seolah diperlihatkan sebuah analogi keadaan hingga aku menyadari hatiku seperti keadaan malam yang dingin berkabut malam ini. "Astagfirullah" sambil ku elus dada, hari kemarin seolah aku tak mengenal diriku sendiri. Mulai kuikatkan lagi benang yang telah banyak terputus di hati ini untuk terhubung kembali pada Sang Pengendali hati. Sungguh Allah Maha pemberi petunjuk, pemberi signal yang harus kita fahami, bukan saja hanya dilihat tapi dimaknai. Sungguh banyak sekali petunjuk dan signal yang Allah tunjukan, tinggal bagaimana kita untuk mau memahaminya.
Wallahua'lam bisawab.