Minggu, 28 Desember 2014

Kaum Intelek? Katanya

Musim ujian nih, kagum sekali rasanya melihat orang-orang sekelilingku mulai mengencangkan ikat kepala mereka masing-masing, membuka lembaran-demi lembaran yang hendak mereka pahami. Akupun demikian, tersulut api semangat untuk ikut berjuang bersama mereka.
Tapi, ada satu hal yang selalu mengganggu ketenangan pikiranku setiap datangnya ujian. Ada beberapa, ah tidak, ada banyak orang yang mengaku dirinya “kaum intelek” tapi bertindak sesuatu yang membuat mereka tidak menjadi intelek. (kau tau maksudku?). Aku merasa kesal ketika melihat hasil yang didapat “yang katanya kaum intelek” itu lebih baik dari hasil cucuran keringatku sendiri. Ya kadang aku marah, tapi jika aku terus-terusan kesal artinya aku menunjukkan ketidakdewasaanku. Ya sudahlah biarkan saja mereka, biarkan saja mereka menikmati pengakuan diri mereka sebagai “kaum intelek, katanya”.
Buah manis akan terasa sangat menyegarkan pada gigitan pertama dan seterusnya, ketika kita memulainya dengan menanam benih, menumbuhkannya dengan seksama, memperhatikan pertumbuhannya, memperhatikan dau-daun yang mulai rindang, dahan pohon yang mulai kekar, akar yang mulai kuat mencengkram di tanah, serta buah-buahan yang bertumbuhan dan matang, kemudian kita memetiknya dengan tangan sendiri.
Untuk para pejuang yang masih mengencangkan ikat kepala, ingatlah bahwa tak ada cucuran keringat yang sia-sia, tak ada usaha yang sia-sia. 
Tidak ada nikmat merebah kala tak ada lelah, bukankah begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar