"Ditengah riuh yang menelan sunyi, terdengar langkah-langkah kaki yang berkejaran, saling menjatuhkan, saling menindih, tapi aku hanya ingin berpikir simple. Ditengah deru nafas berat, debar jantung yang dahsyat, tak jarang terdengar maki terlontar, hasut beringsut, dan hasrat menjerat, seolah dunia hanyalah satu-satunya tujuan mulia, tapi aku hanya ingin berpikir simple." -fauzianrifqi
Derita tak mungkin dituai, bahagia tak mungkin dicapai, tanpa ada benih yang tertanam sebelum hari ini, hari ini kita mengambil pelajaran yang baik dari sebuah kata sederhana,yaitu “Kepentingan”.
Visi, tanpa disadari setiap yang hidup memiliki hal tersebut.
Disetiap langkahnya, disetiap tuturnya, disetiap keputusan hidup yang
diambil sadar ataupun tidak, visi selalu menyertai, tujuan selalu
mendampingi.
Aku tak begitu naif untuk mengakui bahwa akupun mempunyai tujuan yang
hampir sama seperti orang-orang pada umumnya, ingin menjadi orang yang
hebat, mensejahterakan diri, keluarga hingga negeri. Semua mimpi-mimpi besar terangkai dalam sebuah master plan
kehidupan yang begitu kompleks dan tinggi, hingga mampu memacu gairah
obsesi kehidupan yang luar biasa, mau berlelah-lelah menggenggam dunia,
merengkuhnya hingga tak ada yang menyaingi, bahkan mencaci bila perlu.
Semua tentang kepentingan, entah itu kepentingan pribadi ataupun
kepentingan golongan. Seolah semua yang mendukung pada kepentingan
tersebut menjadi halal, dan semua yang menentang kepentingan itu menjadi
harom. Seolah semua yang mendukung kepentingan itu adalah kawan, dan
yang tak sejalan adalah lawan. Ironi sekali melihat
kepentingan-kepentingan tersebut hari ini. Saudara seiman saling
mengkafirkan karena “kepentingan”, saudara seperjuangan, setanah air saling menjatuhkan karena “kepentingan”, sungguh apa yang mereka harapkan dari “kepentingan” tersebut?
Dari semua hal tersebut seharusnya ada satu pertanyaan yang menggelitik. “Sebenarnya untuk apa kita hidup?”.
Sungguh, kita hidup itu menuju mati. Simple.
Dan segala hiruk-pikuk yang kita jalani, segala waktu yang dilalui
untuk semua obsesi-obsesi duniawi, sesungguhnya untuk mempersiapkan
mati. Sudahkah cukup bekal kita? sudahkah kita mengoptimalkan waktu yang
Allah anugerahkan untuk membekali diri kita? ataukah hanya sekedar
menyempatkan diri?
Hidup terlalu singkat jika hanya untuk sekedar saling menjatuhkan
demi obsesi dunia ini, hidup terlalu berharga jika hanya untuk menangis
meratap apa yang tak tercapai, hidup terlalu mulia jika apa yang menjadi
tujuan dari perilaku kita, perbuatan kita, tutur kata yang kita
ucapkan, dan segala kebaikan yang kita ucapkan hanya untuk dunia.
ingatkah bahwa “Tak semata-mata Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu (Allah).”
Hidup ini seperti sebuah perantauan, yang suatu hari nanti akan ada
masanya untuk “pulang”. Kondisi apakah yang kita harapkan saat pulang
dari perantauan? hampa
tak membawa bekal apapun, hanya berbekal baju compang-camping yang pada
mulanya itu baju sebagai bekal kita yang paling baik pada awal
perantauan? atau pulang dengan keadaan yang baik, dengan pakaian yang
selalu baik, dan membawa bekal yang banyak?
Oleh sebab itu, berpikirlah sederhana sehingga semua yang kompleks
terlihat sederhana, sehingga semua obsesi itu mampu terarah dengan baik,
niat Lillahita’ala akan menjadi harga yang sangat bernilai disetiap
cucuran keringat penggapaian mimpi di dunia.
"Bermimpilah, gapailah, genggam ditanganmu, jangan dihatimu. Maka kecewa akan enggan tuk hampiri." -fauzianrifqi