Minggu, 28 Desember 2014

Cerpen : Mentari Senja Terbenam di Pelupuk Matamu


Mendung, langit gelap hendak menumpahkan apa yang ia tanggung selama ini, gemuruh guntur mulai bergelegar saling bersahutan, semilir angin membawa dedaunan terbang mengiringi semerbak aroma khas pertanda akan turunnya hujan.
Aku masih saja termenung di bibir jendela kamarku, memandangi satu-persatu rintik air turun, lalu serentak menyerbu, membasahi bumi sejauh mata memandang. Hari ini begitu melankolis, selaras dengan suasana hatiku saat ini.
 “Sial! Betapa bodohnya aku ini!” Teriak hatiku sambil sesekali menghela nafas berat, menahan desakan berat di dalam batinku. Ingin rasanya aku amnesia dan melupakan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupanku yang tak lagi sempurna. Kebahagiaan semu yang hendak aku raih, namun semu tetaplah semu. Malam kemarin aku melakukan kesalahan yang begitu fatal, maafkan aku, aku menyesal.
***
            “Lamunanku membawaku terbang, seolah kaki-kaki ini tak menapak, terbawa hembusan angin membawa aroma nostalgia, waktu bergerak mundur perlahan dan membawaku pada waktu kumulai kisah ini.” –Padang, 23 September 1998.
Kala itu, di tengah sisa gulita malam nan pekat, suara adzan mendayu saling bersahutan, syahdu, hendaknya mampu tentramkan jiwa-jiwa yang lelah dengan ambisi kehidupan dunia ini, merebahkan hati tuk penuhi panggilan cinta yang hakiki dari Sang Penguasa alam semesta, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Rasyid kecil sedang terlelap nyenyak dibaluti selimut hangat di atas ranjang kecilnya. “Nak, sembahyang yuk.” Belaian lembut penuh kasih itu selalu kurindukan disetiap hari disetiap subuhku. Dia lah Husein Abdul Jabbar, seorang bapak yang tangguh, penuh perhatian dan kasih sayang, yang tak mengenal lelah menjadi tauladan yang baik untuk anak semata wayangnya,   membesarkanku seorang diri, dan tetap tegar sepeninggalan ibu yang pergi setelah berjihad untuk mengenalkanku kepada dunia yang fana ini. Ayah selalu menceritakan kepadaku atas kebanggannya terhadap istri terkasihnya. Dan dia lah Asyiffa Salma, seorang wanita yang tak sempat memelukku hangat, namun aku selalu merasakan kehangatannya disetiap aliran darahku, kini mungkin dia sedang bahagia di alam kubur sana sebagai mujahid yang Allah cintai.
***
            “Sesal mendalam takkan mampu memutar balik waktu, waktu indah masa lalu adalah sejarah, tangis pedih satu menit lalu adalah sejarah, waktu yang akan datang adalah misteri, hembus napasku saat ini adalah hasil yang harus kutanggung, hasil yang harus ku tuai dari sejarah yang telah aku ukir” –Jakarta, 1 Januari 2014
Aku yang mulai beranjak dewasa, keingintahuanku yang tinggi terkadang membuat ayah kewalahan dalam mendidikku, terkesan menjadi seorang anak muda pemberontak ketika tuju tak sesuai harap, ketika tuai tak sesuai ingin. Namun sekali lagi aku katakan, bahwa ayahku adalah bapak yang hebat, satu-satunya orang yang mampu tentramkan ketika hati dan laku melampaui batas.
Tak terasa waktu bergerak begitu cepat, ketika tiba masanya aku betul-betul membutuhkan figur sebagai teladan bagi idealismeku yang sedang berkembang ini, Allah punya rencana lain.
“Suatu hari nanti, kamu harus menjadi orang yang besar, yang juga mampu membesarkan orang-orang sekitarmu, menjadi teladan yang baik bagi sekitarmu, dan yang terpenting adalah jadilah manusia yang seperti pohon berdaun rindang yang meneduhkan dan ditumbuhi buah-buahan segar yang penuh manfaat. Ayah akan selalu bangga padamu nak.”  Suara parau itu membuatku tak kuasa membendung semua rasa pedih dalam hati ini tuk tertumpah menjadi tetesan air mata haru serta rasa takut kehilangan seoarang yang begitu aku sayangi dan aku hormati sepenuh hati.
Waktu bergulir tanpa sedikitpun toleransi, ingin rasanya kuhentikan sejenak waktu ini, untuk sekedar menghela nafas tuk redam rasa sedih di hati, namun aku tak punya kuasa akan hal itu. Layaknya pesasan jeruk, waktu semakin habis disetiap tetesnya, hingga satu titik dimana tak ada yang tersisa lagi untuk diperas. Seorang bijak pernah berkata kepadaku “Suatu hari nanti, setelah kau tumbuh dewasa, coba kau tanyakan pada dirimu sendiri, Sudah engkau manfaatkan untuk apa setiap perasan jeruk di tanganmu? Apakah kau hanya merasakan pahitnya getah dari ampas yang tersisa di tanganmu itu, tanpa kau sadari bahwa tak ada yang mampu menetes lagi dari apa yang engkau peras? Atau apakah kau bisa rasakan betapa menyegarkannya apa yang kau peras itu?” Dia lah yang selalu memberiku nasihat yang penuh ketulusan, dia lah ayahku yang terbaring lemah di kamar rumah sakit dengan segala peralatan yang terpasang di tubuhnya, terlihat sangat menyiksa,  tangan ringkihnya tak lelah menggenggam tanganku, membelai kepalaku kala aku gundah, menepuk pundakku kala ia bangga, dia lah yang di akhir hayatnya tak pernah lelah untuk menyayangiku sampai hembus nafas terakhirnya, selepas sembahyang subuh terakhirnya.
Seolah dunia ini berhenti berputar. Sungguh,  ingin kuhentikan saja putaran dunia ini, ingin kubalik arah putaran dunia ini, mengembalikan waktu hingga hari dimana aku  akan mampu merubah segalanya, merubah segala akhir kisah sedih dalam hidupku hari ini, menghapus semua hal yang membuahkan sesal terdalam di hari ini, dan menjadi seorang anak yang membanggakan sesuai harapan lelaki yang terbujur kaku dihadapanku, yang baru saja mengucap syahadat yang begitu indah dihembusan nafas terakhirnya, subuh ini.
***
            “Angan hendak kugapai, ketulusan menjadi penguat langkah gontaiku, sayap-sayap kecilku mulai mengepak untuk membawaku terbang menggapai apa yang hendak kugapai, membawa satu warna yang selalu aku bawa, namun kini aku bertanya, akankah warna ini memudar, lalu berganti menjadi warna yang lain.” –Jakarta, 4 Maret 2010.
            Hari ini, hari yang begitu mendebarkan, aku diantar oleh ayah untuk melakukan tes masuk perguruan tinggi negeri ternama di Ibu Kota. Aku seolah kehilangan kepercayaan diri saat itu, melihat saingan-sainganku yang sama hendak masuk perguruan tinggi yang memancarkan tatapan penuh ambisi, aku merasa seperti butiran debu. Tiba-tiba terasa tepukan lembut di pundakku, menggenggam erat pundakku dan membuatku tersadar dari lamunan dan ketakutanku saat itu. “Nak, Allah maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya, Dia lah yang melapangkan segala urusan, Dia lah yang merancang rencana indah untuk hamba-Nya. Percayalah akan segala usaha dan ketulusanmu selama engkau mencari ilmu, serahkan semua urusanmu kepada-Nya.” Seolah ia memahami kekhawatiranku saat ini, ayah berhasil membuatku percaya diri.
            Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi. Allah punya rencana yang indah, usaha keras ku selama ini membuahkan hasil manis, kini aku resmi menjadi calon enterpreuner handal masa depan, yang kini merintis ilmu di fakultas management bisnis sesuai harapan ayah.
“Nak, ingatlah, kamu memiliki warna, orang sekitarmu memiliki warna, dan warna-warna itu sangat beragam, tapi kadang warna-warna itu bertolak belakang dengan warnamu. Tetaplah pada warna yang kau punya, bahkan lebih baik jika memberi warna yang baik bagi sekitarmu, menjadikan warnamu menjadi keteladanan bagi sekitar. Membaurlah dengan banyak warna itu nak, tapi tidak untuk  melebur.” Lelaki bijak itu memberikan nasihat sebelum aku memulai kehidupan baruku.  
Kusalami tangan yang mulai keriput itu, senyum manisnya memacu semangatku mengawali hari, tak lupa usapan tangannya di kepalaku selalu berhasil membuatku bersemangat untuk berjuang menjadi kebanggannya. Ya, saatnya aku memulai perjuanganku untuk menjadi anak laki-laki yang membanggakan.
Hari-hari berlalu, semangat mengiringi banyak kisah diperjalanan hidup baruku sebagai mahasisawa, aku harus berusaha untuk beradaptasi di kehidupan Ibu Kota, aku bukan penduduk asal, semenjak kepindahan bisnis ayah dari tanah minang ke Ibu kota. Cukup banyak teman-teman baru yang aku kenal, berbeda suku, berbeda budaya, berbeda “kasta”, berbeda agama, dan berbeda idealisme, semua penuh warna-warni yang membuat hidupku lebih beragam.
***
            “Sayap-sayapku mulai rapuh, berguguran bulu-bulu sayap ini seiring warna yang mulai memudar, terbang menyusuri tempat yang gelap, layaknya hilang arah menuju tempat yang kan kutuju” –Jakarta, 27 April 2012.
            Kehidupan tak semulus dan selembut lambayan angin senja di pantai. Kehidupan tak se-istiqomah aliran air yang mengalir dari hulu ke hilir.  Kadang, tuju tak sesuai harap, hasil tak sesuai mimpi, dan kehidupan begitu dinamis, tak selalu menyenangkan pun tak selalu menyedihkan, tak selalu baik pun tak selalu buruk dalam perjalanannya.
            Aku mulai bisa beradaptasi dengan pergaulan ibu kota yang jauh berbeda dengan tanah kelahiranku, tanah minang. Aku banyak  memiliki teman dekat, salah satunya adalah Ramon Nugroho, aku biasa memanggilnya Ramon. Dia adalah anak yang cukup populer di kampusku, memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi, namun ada kalanya dia tak ingin diganggu, menjadi seorang apatis, entah kenapa aku pun tak mengerti.
            “Syid, lu ikut gua sekarang!” Suara yang aku kenal dengan baik itu sepertinya hendak mengajakku pergi ke suatu tempat. “Kita seneng-seneng kayak biasa sama temen-temen yang lain, penat kepala gua abis ujian hari ini.” Sepertinya Ramon mengajakku ke tempat nongkrong biasanya.
Aku tiba di suatu tempat yang tak asing lagi bagiku sejak mengenal Ramon, tak ada lampu yang terang, hanya kerlap-kerlip lampu berwarna-warni, disertai suara musik disco “jedag-jedug” begitu keras disertai teriakan-teriakan euporia, ditengah remang pijar lampu warna-warni itu, samar-samar kumelihat ratusan manusia berlenggak-lenggok, menggoyangkan badan berjoget penuh syahwat, ada yang menenteng botol minuman keras, ada pula yang menenteng gadis yang berpakaian seronok. Kini aku bukan lagi anak minang yang kurang pergaulan, kini aku lebih menyerupai anak ibu kota yang gemerlap malam adalah kehidupannya.
Sejak berteman dengan Ramon, warnaku melebur hingga pudar, tak sama seperti dahulu ketika aku menjadi anak minang yang penurut akan nasihat ayahnya. Sejak saat itu, hubunganku dengan ayah merenggang begitu jauh, akulah yang menjauh, tak ingin lagi mendengar nasihat-nasihatnya yang dulu selalu aku bangga-banggakan dan aku patuhi, hati ini menjadi keras di setiap asap rokok yang kuhisap, dan di setiap aliran alkohol yang ku tenggak, bersama teman-temanku, kehidupan dunia ini seolah menciptakan euporia yang begitu dahsyat menyenangkan, aku terlena.
Alunan musik yang dimainkan DJ terdengar begitu syahdu ditelinga mabuk-ku, bagaikan lantunan musik mozart jika otak dan telingaku waras. Kepalaku manggut-manggut, pinggang bergoyang mengikuti alunan musik disco yang begitu mengasyikkan, aku tak merasa malu dan berdosa lagi menyentuh yang bukan makhromku, kesenangan dunia ini membuat hatiku buta sebuta-butanya, tumpul setumpul-tumpulnya. 
“Gimana bro hari ini? Asyik kan? Hahahaha.. dasar lo jago mabok.” Si mabuk itu berbicara alakadarnya kepada si mabuk ini, yang menanggapinya dengan tanganku yang mengangkat gelas berisi minuman haram itu, tanda aku mengajaknya minum lagi.
“Bro, lu sekarang ikut gua deh, gua mau nunjukin sesuatu yang jauh bikin lungefly.” Si mabuk itu mengajakku ke sebuah private room di ujung diskotik ini, kulihat disana ada beberapa orang yang sedang asyik menghisap serbuk-serbuk putih entah apa itu, ada pula yang sedang menyuntik dirinya sendiri, ah otak mabuk ku cukup lama untuk mendeskripsikan bahwa yang sedang mereka lakukan adalah  sedang “make”, begitulah kawan-kawanku sering bilang.
            Ramon menggulung lengan bajunya, lalu dengan lihai ia mengikat lengan atasnya dengan tali, sembari mengapit sebuah suntikan di mulutnya, sambil kepalanya manggut-manggut menikmati musik disko yang masih terdengar dari luar ruangan. “Sekali lu nyoba barang ini, lu bakal merasakan kenikmatan tiada tara deh sob!” Kemudian tanpa ragu-ragu ia menyuntikkan jarum tajam itu, aku berasa ngilu begitu melihat jarum itu menghujam lengan kurusnya.
“Ahh..” Nafasnya memberat, matanya berkedip-kedip cepat tak beraturan, sesaat setelah cairan kimia itu memasuki aliran darahnya, dia terlihat begitu menikmati momen itu.
Sesaat setelah itu, mata yang tadinya terpejam, perlahan terbuka malas melirik ke arahku. “Eh sob, lu mesti nyoba ni barang.” Sahutnya sambil mengisi suntikan bekasnya tadi dengan barang haram itu, lalu memberikannya kepadaku.
            Dengan agak sedikit ragu, aku mengambil suntikan dari tangannya, aku sangat penasaran seberapa nikmat efek euporia yang dihasilkan dari bahan kimia yang akan merasuki darahku lalu mempengaruhi otakku ini, ya, aku ingin mencobanya.
Aku meniru apa yang barusan Ramon lakukan, mengecangkan ikatan pada lengan atasku, hingga vena ku menunjol dan siap untuk disuntikkan cairan ini.
“Rasyid!!!!!” Sahutan tegas itu membuatku menghentikan jarum yang hendak aku tusukkan ke lenganku, tangan keriputnya menghentikan tanganku, menggenggamnya begitu erat, tatapannya begitu memancarkan kekhawatiran, samar-samar kulihat kilatan jernih di kedua ujung matanya, nafasnya sedikit terengah-engah, seperti habis berlari, kedua ujung bibirnya berkedut seolah menahan sesuatu dari dalam hati, melihat anaknya, Rasyid Malik bin Husein Abdul Jabbar sedang terkapar mabuk dan hendak memakai barang haram yang akan menjerumuskanku lebih dalam lagi, terjerembab dalam lubang kenistaan dunia maupun akhirat.
Entah awan mendung apa yang membuat otakku begitu keruh, membuatnya tak mampu berpikir panjang, minuman yang berkali-kali kutenggak itu membuat hati ini mengeras tanpa iba, walau melihat sesosok tua renta yang begitu berbelas kasih, yang dulu selalu menggendong, mengasuh, dan selalu menjadi teladan yang baik bagiku. Saat ini pun, tak ada tatapan marah di matanya, hanya rasa khawatir yang begitu dalam, namun tak mampu menjangkau dalamnya hatiku yang keruh saat ini, aku tak tersentuh.
“Untuk apa ayah ke sini?!!” bentakku tak berperasaan, sembari mengibaskan genggaman tangannya dari tanganku. Tiba-tiba tatapan matanya meredup, menahan rasa sakit di hati, menahan agar tak ada benci terhadap anaknya yang moralnya telah runtuh porak-poranda. Orang – orang mabuk dan sakau sekeliling kami hanya menonton adegan sinetron dihadapan mereka dengan mata malasnya masing-masing, begitupun Ramon, ia hanya menatapi kami dengan sesekali tersenyum bengis.
Namun ada yang aneh saat itu, tangan ayah bercucuran darah sejak ku kibaskan dari genggaman tanganku, “Kenapa dia?” batinku, baru ku ingat bahwa aku sedang memegang jarum suntik tadi, kulihat suntikan di tanganku, ada bercak darah. “Astaga, aku melukai ayah.” Batinku tehenyak, seolah terbangun dari mabuk, refleks aku merobek bajuku untuk membalut luka yang aku torehkan ditangannya, namun aku yakin, luka yang kugoreskan di hatinya lebih menyakitkan daripada ini.
“Ayah maafkan anakmu yang tak bermoral dan durhaka ini, aku tak bermaksud melukai ayah, ayah aku mohon, maafkan aku.” Aku merasa menyesal sekali, melukai hati seorang pria renta yang tak pernah bosan menyayangiku, suaraku terdengar semakin parau ketika hati ini mulai mendesakkan isinya untuk tumpah menjadi linangan air mata penyesalan malam itu.
“Kita pulang nak..” balasnya dengan singkat, dan tatapan mata itu begitu menyejukkan, tatapan mata yang selama setahun terakhir ini aku hindari, aku jauhi tanpa perasaan. Dia merangkulkan tangannya di pundakku, membimbing langkahku keluar dari tempat maksiat ini, mencoba menegakkan langkahku yang gontai akibat minuman yang memabukkan yang aku tenggak semalam suntuk. Aku heran, terbuat dari apa hatinya? Rasa bencinya tak mampu mengalahkan kasih sayangnya kepadaku, anaknya yang setahun terakhir ini terjerembab ke dalam pergaulan yang salah, terperosok begitu dalam ke dalam sumur yang gelap, begitu lama hingga aku nyaman dengan kegelapan ini, namun dia tak lelah menuruni anak tangga yang begitu panjang, mencariku di tengah gelapnya kesenangan dunia yang fana ini, membawaku menemukan cahaya di ujung sumur gelap yang kusinggahi ini. Dia lah ayahku, yang begitu taat menjalankan perintah Tuhannya, meneladani perilaku dan ajaran Rasulnya, dan ia tak pernah lelah mengajarkan semua itu kepadaku, hingga hari ini, aku menyesali perbuatanku yang tak mengindahkan harapnya.
***
            “Dalam gelap kutermenung, terperosok dalam sumur gelap yang begitu dalam nyaris tak berujung, namun, langkah kaki itu tak lelah menuruni anak tangga di tengah gelap, mencoba mencari dan hendak menggapaiku, merangkul bahuku, membimbingnya menaiki anak tangga menuju cahaya yang telah lama kutinggalkan. Namun langkah itu mulai ringkih, akupun mulai merasakan kekhawatiran jika aku harus melangkah sendirian menuju cahaya itu. Sampai kapankah engkau kan bertahan ayah?” –Jakarta, 31 Desember 2013
            Hari ini, rasa sesal dalam hatiku semakin menjadi, menyaksikan tubuh tua renta, yang terlihat begitu kurus, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dia lah ayahku, teladanku, terbaring tak berdaya digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Begitu terpukul, sakit terasa begitu teramat sangat ketika dokter menyatakan ayahku positif HIV/AIDS. Harusnya aku yang terbaring lemah saat ini, tertular virus yang begitu mengerikan dari suntikan bekas Ramon, sahabat semu yang hanya memikirkan dirinya, mencari teman agar sama seperti dirinya, merasakan penderitaannya, namun ia salah mengambil cara. Andai saja dia ceritakan masalahnya kepadaku, aku takkan menjauhinya oleh karena dia ODHA, bahkan mungkin kita bisa melangkah bersama dalam perbaikan diri, menjadikan hidup lebih berkualitas, pantas saja Ramon yang terkenal percaya diri itu, terkadang menjadi sosok yang introvert, mengasing, dan kehilangan kepercayaan dirinya, dan sekarang aku mengerti kenapa. Namun, andai tetaplah andai, sejarah tetaplah sejarah yang takkan bergulir kedepan tuk sekedar diperbaiki. Aku mendapatkan kabar bahwa Ramon telah meninggal dunia 5 bulan lalu akibat penyakitnya yang hendak ia tularkan kepadaku setahun lalu, namun kini kenapa harus ayahku yang menanggung semua ini. Tak henti-hentinya sesal ini merajam hatiku, menguras air mataku yang tiada henti mengalir, setiap melihat ayahku tersenyum tegar menahan semua rasa sakitnya, menahan semua kerapuhan dalam dirinya.
            “Nak, bangun nak.” Aku terbangun dari tidurku di tepi ranjang dimana ayahku terbaring lemah, ayah mengajakku solat tahajud bersama. Kulihat jam, jarumnya menunjukkan bahwa sekarang jam 3 pagi. Selapas Qiyyamu lailayah memberikan sebuah buku catatan harian kepadaku, ia berpesan kepadaku untuk membacanya suatu hari nanti ketika aku telah memiliki seorang anak.
Suara adzan berkumandang begitu nyaring, memecah heningnya pagi tahun baru masehi 2014, ayah kembali mengisyaratkanku untuk menjadi imam sholat subuh berjamaah bersamanya. Ketika aku duduk tasyahud akhir, tiba-tiba Ayah berusaha mengeraskan bacaan syahadatnya, dengan suara yang begitu parau dengan nafas beratnya, aku tak kuasa menahan gejolak di dada ini, ingin segera kuselesaikan bacaan tasyahud akhirku, segera kuakhiri salam terakhir sholat subuhku, kuhampiri ayah, kugenggam tangannya, dengan suara parau kumenahan tangis, membimbing ayahku untuk bersyahadat “Asyhadu’alaa ilaa ha illallaah..” tak kuasa air mataku menetes, menyaksikan ayah sekuat tenaga untuk bernafas, “Asyh.. Asyhadu.. Alaa ilaa ha.. illallaah..” Seolah melepaskan semua beban, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menangis tersedu-sedu, tak kuasa aku menahan suara tangisku, begitu pedih kurasakan, ingin rasanya ini hanya sebuah mimpi dan ingin aku segera bagun, namun, ini bukanlah mimpi, ayah yang selalu menyayangiku sepanjang hayatnya kini telah berpulang kepada Allah yang Maha berhak untuk memiliki semua ciptaannya.
***
“Sahabatku, kini engkau temani aku semenjak pemilikmu tak lagi mampu memilikimu, bukan karena ia mencampakkanmu, namun ia hanya sudah seharusnya pulang kampung, meninggalkan kampung dunia ini menuju kampung akhirat yang kekal. Waktu terasa begitu singkat sahabat, sahabat lamamu meniggalkan sosok bayi mungil nan lucu di hembus nafas terakhirnya, sungguh ia mujahid sejati.”- Novemver, 1991.
“Aku sangat bahagia melihat anakku yang mulai tumbuh besar, tak terasa sudah 7 tahun semenjak sahabat lamamu pergi, ia meninggalkan anak yang sungguh ceria walau tanpa kehadiran sahabat terkasihmu, aku tak henti-hentinya menceritakan keteladanan ibunya, dan aku pun takkan lelah menjadi teladan yang baik untuknya”-Agustus, 1998.
“Aku mulai renta sahabat, dokter memvonis bahwa hidupku takkan sampai lima tahun dari sekarang, karena cancer yang aku derita, aku tak mau memberitahu anakku, ia tak perlu khawatir. Anakku sekarang mulai tumbuh menjadi lelaki dewasa, memulai untuk mencari jati diri, mencari warnanya sendiri, perbedaan usia yang cukup jauh membuatku terkesan terlalu kolot untuk menjadi sahabatnya, ideologiku mungkin saja tak sejalan dengan ideologinya, aku khawatir warna ceria dan semangat juang yang diwariskan ibunya memudar, namun sekali lagi aku katakan kepadamu sahabatku, aku takkan pernah lelah menjadi teladan baginya. Aku harus tetap kuat ditengah kerapuhanku.” Maret, 2010.
“Kekhawatiranku nyata adanya, masa pencarian jati dirinya, membuat anakku menjadi sosok pembangkang, tak lagi mau mendengar nasihat-nasihat kolotku, namun amarahku takkan mampu mengalahkan kasih sayangku, dan aku tetap akan tepati janjiku, aku takkan lelah menjadi teladan baginya. Kekhawatiranku semakin menjadi, ketika ia memiliki kawan yang bernama Ramon, aku tahu ia bukan kawan yang baik untuk anakku, aku menasihati anakku agar pandai menjaga diri, jangan sampai ia melebur kehilangan warna, namun ia tak mau dengar. Aku hanya mampu berdo’a yang terbaik untuk anakku.”Februari, 2012.
“Sahabat, malam ini aku begitu gelisah, telponku tak kunjung diindahkan oleh anakku, aku hanya ingin mendengar kabar kalau dia baik – baik saja, aku mendapat informasi bahwa ia pergi bersama Ramon ke tempat yang akan menjerumuskannya lebih dalam. Aku tak kuasa menahan rasa khawatirku, aku bergegas menuju ke tempat itu, berlari di tengah riuh syahwat keduniaan, membuka pintu sebuah ruangan, benar saja ada anakku yang sedang terkapar mabuk, memegang jarum suntik, untung saja aku tak terlambat, walau tanganku harus terluka malam ini. Nak, kembalilah, aku mohon.” Desember 2012.
“Penyakit cancer yang kuderita mulai membuatku tak berdaya, menggerogoti seluruh tubuhku, aku mulai semakin rapuh, ditambah lagi dokter memvonisku HIV/AIDS. Aku tak sedih, bahkan aku bersyukur tak terlambat saat itu, jika saja aku terlambat, anakku lah yang mungkin terbaring bersama ayahnya yang mengidap cancer, dan ia mengidap HIV, syukurlah aku tak terlambat. Sahabat, mungkin tak lama lagi aku akan menitipkanmu kepada sahabat barumu, anakku. Aku sudah cukup letih menahan sakitnya sekujur badanku, akupun tak sabar bertemu kekasihku, semoga saja Dia mau menerimaku disisiNya dalam keadaan yang baik. Sahabat, jagalah selalu sahabat barumu, mungkin ini pesan terakhirku, lantunan adzan subuh hari ini begitu indah sahabat, tak pernah seindah yang kurasakan selama hayatku.” –Januari, 2014.
            “Dan dia lah ayah terhebatku, yang menjadi teladan hingga akhir hayatnya, dialah kakekmu nak.” Aku takkan lelah menjadi teladan bagimu. Menjadi matahari yang tak pernah lelah menerangi hari-harimu, menghangatkan dinginmu, dan ketika senja tiba, aku akan menjadi yang terbenam dan meredup di pelupuk matamu, yang menjadi lembayung mega merah yang menentramkan, memberi arti dan keindahan hingga senja berakhir, dan engkau siap tuk menjadi mentari esok pagi, menggantikanku.
TAMAT.

1 komentar: