Sabtu, 22 Maret 2014

Sahabat Kecil


Suatu hari, terik mentari memeluk syahdu ditengah deru ombak berirama nostalgia. Suasana khas pantai selalu menjadi satu kenangan yang terpaku dalam laci ingatan yang simpan segala memori itu.
Gelak tawa kepolosan anak-anak manusia yang diperkenalkan waktu untuk saling bertemu diwaktu belia. 
Nostalgia, selalu mengundang rindu tak terucap terpisahkan jarak dan waktu. Singkat sekali waktu pertemukan hati, tak sempat mengingat nama asli sang sahabat kecil itu, tak sempat aku hafal wajah sahabat kecil itu. 
Potret lugu berbaju oranye terang bersama sahabat kecilku di depan mobil tua berwarna merah menjadi satu salam terakhir ketika itu, tak tahu kapan waktu hendak pertemukan kembali. Terpisahkan waktu, melangkah di jalan mimpi dan cita tuk torehkan warna-warni kisah dalam lembaran hidup masing-masing.
Jalani kisah kehidupan, beranjak dewasa, terwarnai dan mewarnai dengan warna-warni kehiduan, mencari jati diri, merangkai kisah serta mimpi-mimpi, hingga laci ingatan itu berdebu dan usang tak pernah dibuka untuk sekedar nostalgia.
Ketika dewasa datang dengan pasti, waktu kembali mengiring langkah untuk membuka laci ingatan itu kembali. Tak sengaja aku temukan satu sosok yang tak asing, seperti mengalami de javu , "Pernah kenal dimana dengan gadis ini?" benakku bertanya dengan heran. Nama itu sama sekali aku tak mengingatnya, tapi wajah itu seolah tak asing.
Kembali ingatanku berkelana tuk hampiri nostalgia, teringat suasana itu, terik mentari cukup terasa menyengat iringi salam perpisahan 6 tahun lalu. "Mungkinkah?" benakku kembali bertanya.
"Sahabat kecil!" teriak hatiku terasa sangat gembira, menemukan satu coretan indah keceriaan anak-anak manusia belia di lembaran ingatan yang cukup berdebu dan usang.
Sahabat kecil, rindu bersenandung nostalgia seperti bunga yang bertumbuh dengan warna indah, aku dengan warnaku, engkau dengan warnamu.
Sahabat kecil, kamu membawa banyak kisah setelah perpisahan itu, begitupun denganku. Sahabat kecil, kamu membawa banyak mimpi setelah perpisahan itu, begitupun denganku. Kita telah banyak sekali melewati kisah masing-masing. Kapankah waktu kan pertemukan raga kita sahabat?
Sahabat, kisahmu menjadi warna dalam kisahku, mimpi-mimpi besarmu menjadi satu roda penggerakku untuk tetap bermimpi besar juga.
Sahabat, Semoga Sang Pemilik Waktu sudi tuk pertemukan kita dalam keadaan yang baik suatu hari nanti, semoga usia sampaikan kita untuk gapai mimpi-mimpi besar kita. Aamiin.

Jumat, 14 Maret 2014

Ketika Hati Betul Tertunduk (Pertolongan Allah itu Nyata part 2)

Sandal dengan Kenangan
Pekan itu merupakan pekan semester sisipan genap. Ya, aku harus memperbaiki beberapa nilai mata kuliah yang nilainya masih pas-pasan. Selain itu juga aku masih punya amanah menjadi kordinator acara Ramadhan. Tak seperti ramadhan biasanya, ini Ramadhan yang luar biasa, luar biasa ujiannya, luar biasa berkahnya.
Di tulisanku yang berjudul "Pertolongan Allah itu Nyata Part 1" aku sudah bercerita tentang betapa riweuhnya persiapan acara Tarhib Ramadhan yang penuh dengan hal yang membuat adrenalin melonjak membuat detak jantung tak karuan.
Setelah selesai acara Tarhib Ramadhan, masih banyak rangkaian acara selama Ramadhan yang kami agendakan, sungguh itu amanah pertemaku di organisasi dan langsung mendapat amanah yang aku rasa berat.
Kampus sangat sepi, terang saja, itu adalah pekan Semester Sisipan. Hal tersebut menjadi satu kendala yang paling krusial saat itu, "Siapa yang mau ikutan acara Ramadhan kami?? Fakultas lain sudah libur, hanya mahasiswa kedokteran yang tersisa.". Kekhawatiran kami ternyata benar, acara-acara lomba keterampilan agama yang kami adakan sepi peserta, bisa dihitung dengan jari, nangis hati ini, beban banget, merasa tidak becus, percaya diri down banget pokoknya.
Okey yang lalu biarlah berlalu, masih ada secerca harapan di acara terakhir kami di bulan Ramadhan, ini yang menjadi harapan kami sebagai GONG-nya acara gebyar Ramadhan 1434 H ini. Kami melakukan persiapan jauh-jauh hari, rapat demi rapat kami lalui, namun masih saja hati masih harap-harap cemas, takut acara terakhir ini kurang sukses seperti acara-acara sebelumnya. Pokoknya saat itu aku sangat berambisi untuk mensukseskan acara terakhir ini "Seminar Gebyar Ramadhan : "Maka Nikmat Tuhan mu yang manakah yang akan engkau dustakan?" Tema kajian keagamaan yang kami usung tentang rasa syukur, dengan pembicara Ramaditya Adikara (Seorang motivator tuna netra), dokter Jose Rizal (Relawan MER-C), dan dokter Abdul Mughni (Relawan MER-C, Novelis, Dosen kita yang pengalamannya segudang). 
Ternyata ujian yang harus kami hadapi gak cukup sampai lomba minim peserta, seminar kami pun sekitar H-1 minggu masih sangat minim peserta. Aku ingat sekali waktu itu peserta baru ada 13. Bayangkan! target kami 200 peserta dan H-seminggu masih 13. Ditambah lagi masalah pendanaan yang imposible banget kalo dipikir secara logika dan batas pemikiran manusia. Dana kami mendekati 0 saat itu, padahal sound sistem, pembicara konsumsi dan lain-lain sudah dipesan. Kami kebingungan mau pake dana dari mana, mengandalkan sisa dana acara Tarhib saja tidak cukup. Usaha kesana-kemari, tanya sana tanya sini, lari sana lari sini, tak membuahkan hasil. Frustasi rasanya, marah rasanya pada diri merasa tidak becus, rasanya ketahanan mentalku sudah berada di ambang batas garis "merah", depresi rasanya. Ternyata tak cukup ujian sampai minim peserta dan minim dana, berbagai kecaman datang dari ikhwah yang lain terkait salah satu pembicara yang katanya beraliran syi'ah, dan saat itu aku gak paham apa itu syi'ah dan lain sebagainya. Sampai kakak kelasku debat di media sosial memperjuangkan bahwa pembahasan yang akan kami usung bukan tentang aqidah, tapi carieer sharing pengalaman dan perjuang hidup pembicara tersebut. Sungguh masalah datang bertubi-tubi dan seolah tak ada titik pencerahan. Betul-betul saat mendekati hari H, depresi dan frustasi sudah betul-betul maksimal, seolah tak ada daya pada diri untuk bergerak, lelah sekali rasanya untuk menghadapi semua ujian ini. Selama Ramadhan aku tak pernah tidur nyenyak, selalu terbangun disetiap berapa menit aku tidur dan panik.
Saat itu aku menjadi satu orang yang betul-betul memendam masalah sendirian, aku tak cerita kepada orangtua karena tak ingin merepotkan dan membuat khawatir, aku selalu menunjukan wajah tenang dan selalu menenangkan panitia lain agar tidak cemas, padahal mental dan hatiku saat itu betul-betul remuk tak karuan.
H-1 peserta masih sedikit, tapi disetiap penambahan jumlah peserta disetiap harinya terasa sangat berarti walaupun hanya 1 atau 2 orang. Masalah pendanaan kami mencoba mengusahakan pinjaman dana dari mesjid Asy Syiffa. Malam itu aku dihubungi kak Bagus, kakak kelas yang kebetulan pengurus Asy Syiffa, aku disuruh ke Asy syiffa bertemu Pak Yanto besok paginya (hari H), katanya kami dapat pinjaman dari Asy Syiffa 3,5 jt. Malam itu aku langsung mengurus surat peminjaman, hari H paginya aku langsung menuju Asy syiffa untuk bertemu dengan pak Yanto, kebetulan acara seminar Ramadhan akan dimulai bakda dzuhur.
Sebelumnya aku mencoba menghubungi Pak Yanto namun ternyata handphone nya tak aktif, "Lakhaula wala kuwwata illa billah" aku langsung menuju Asy Syiffa, Perjalanan dari kampus menuju Asy Syiffa cukup jauh, perlu ditempuh 30 menit dengan motorku. 
Sesampainya di Asy Syiffa aku sangat cemas, kalau pinjaman ini gak jadi, mau bayar pembicara pake apa coba kalau gak ada sepeserpun dana. Aku celingukan di Mesjid, mencari pak Yanto tak kunjung ketemu. Saat kebingungan begitu, "Mas Rifqi mencari siapa?" suara berasal dari belakangku dan aku kenal suara itu adalah suara pak Yanto. "Alhamdulillah" hela napasku "Saya mencari bapak, ingin menanyakan terkait hal pminjaman dana untuk acara Ramadhan, kebetulan hari ini acaranya pak, Pak Zulfa katanya sudah acc" lanjutku. "Loh pinjaman apa dek? Pak Zulfa belum ngontak saya dek." jawab pak Yanto heran. Sontak rasanya leher dan telingaku panas rasanya, jantungku merasakan efek dari aliran adrenalin yang begitu derasnya, lemas sekali rasanya. "Ya sudah saya ke tempat kerja dulu ya dek, nanti saya kabari kalau pak Zulfa sudah menghubungi saya, tapi kok dari kemarin saya ketemu beliau gak ada obrolan ke arah sini dek, adek tahu sendiri keadaan keuangan asy syiffa belum pulih." Pak Yanto langsung pergi dengan motornya.
       Terasa tersambar petir, panas sekali rasanya seluruh badan. Bingung, sedih, takut, semua kefrustasian selama memegang amanah ini seperti seolah mencapai klimaksnya, terakumulasi menjadi sebuah puncak kefrustasian seolah dalam hati berteriak dengan begitu keras. Aku terduduk di emperan Mesjid Asy Syiffa untuk sejenak, pikiran terasa kosong, semua beban ini, semua pikiran ini seolah meledak memuntahkan isinya hingga kosong. Waktu menunjukan pukul 9.30 di jam ku. Acara Seminar Gebyar Ramadhan akan dimulai ba'da dzuhur nanti. Jantung berdetak dengan cepatnya seolah ingin meloncat dari tempatnya, nafas tersengal ingin menangis tapi enggan. Akhirnya langkah menyerah terguntai lemas menuju parkiran motor untuk pulang ke kampus tanpa hasil. Kabar ini mungkin akan membuat panitia Gebyar kebingungan dan stress, raut bingung dan kecewa dan teman-teman sudah sangat tervisualisasi di dalam pikiranku. Entahlah, saat itu aku seolah berjalan di kegelapan yang begitu pekat tak mengerti arah mana yang akan membawaku, seolah angin kan hembuskanku bagai butiran debu yang pasrah akan dibawa ke mana.
Sampailah aku di motorku, hendak menggunakan helm, merenung sejenak, ingin menangis sebenarnya tapi harga diriku terlalu mahal hingga enggan untuk menangis.
Entah ada apa tiba-tiba hati tergerak untuk melepas helm dan ingin kembali ke mesjid, berat sekali rasanya untuk pulang. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke Asy syiffa, hendak melaksanakan sholat duha. Selesai sholat duha, aku merenungi apa yang sedang terjadi saat ini, merenungi apakah ini ujian ataukah adzab. Saat itu aku betul-betul mengintrospeksi diri, mungkin ada yang salah dengan niatku menjalankan amanah ini, semuanya aku renungi, hingga hati ini betul tertunduk dan berpasrah hanya pada Allah, kuserahkan segala urusan ini kepada Allah, hanya Allah yang mampu memampukan aku untuk selesaikan ujiannya. Hati betul tertunduk dalam sujud yang begitu penuh kepasrahan kepadaNya, hati betul tertunduk dalam derai airmata yang menetes satu - persatu kala itu, hati betul tertunduk dalam hembus nafas berat memohon ampun kala niat tak tertuju padaNya, sungguh hanya kepadaNya aku memohon, sungguh hanya kepadanya aku meminta pertolongan. Setelah itu aku buka Al qur'an yang aku bawa, membacanya dengan berharap mendapat ketenangan dalam hati untuk dapat berpikir dengan jernih.
Kuhentikan sejenak bacaanku dan melihat jam, saat itu waktu menunjukan pukul 10.50. Aku berniat untuk pulang 10 menit lagi, saat aku membereskan al qur'anku dan hendak memasukannya ke dalam tas, tiba-tiba aku melihat bayangan di lantai mesjid yang hendak menghampiriku dari belakang.
"Mas Rifqi?" Suara yang aku sangat kenal menyapaku dari belakang. Aku membalikan badanku dan ternyata pak Yanto yang menyapaku. "Jadi sebetulnya berapa uang yang adik butuhkan untuk acara hari ini? biar tak ambilkan untuk adik." lanjutnya.
Sontak hatiku terenyuh haru, serasa hari itu Allah telah memelukku dengan kasih sayang dan pertolongannya, sungguh bahagia ini tak dapat terukir dengan kata seindah apapun, sungguh kebahagiaan ini tak dapat tergambarkan dengan lukisan seindah apapun, sungguh hati yang tertunduk ini meneteskan air mata haru merasakan betapa indah cintaNya.
Langsung setelah menerima uang dari Asy Syiffa aku langsung bergegas pulang. Tapi saat mau pulang ternyata sepatuku ada yang mengambil, entah siapa, yang aku tahu sepatuku hilang saat itu. mencari berkeliling mesjid dengan pak Yanto tapi tak dapat ditemukan. Akhirnya pak Yanto memberiku sepasang sandal jepit sebagai bekalku agar tidak nyeker. "Mas ambil aja sendalnya buat mas, semoga dengan hilangnya sepatu menjadi pahala buat mas, dan dibalas dengan kebaikan yang jauh daripada harga sepatu oleh Allah ya mas." Kata pak Yanto.
"Aamiin.. iya pak ndak apa-apa, ini saya bawa sandalnya ya, semoga Allah membalas kebaikan bapak." jawabku.
Langsung aku pacu motorku menuju kampus. Gengsi dan harga diri tak kuasa membendung tangisku saat itu, tangis bahagia, tangis syukurku tak kuasa aku bendung sepanjang jalan, seraya aku memuji nama Allah. Subhanallah.
Sesampainya di kampus, satu lagi pertolongan Allah datang, peserta seminar yang awalnya sangat sedikit menjadi banyak sekali hingga hampir memenuhi target yang panitia tentukan, banyak sekali yang membeli tiket masuk on the spot. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar!
Dari situ aku belajar bahwa memang Dia lah yang maha menguasai segalanya, Dia lah yang patut kita berpasrah kepadaNya, Dia lah yang mampu membolak-balikan hati manusia, Dia lah yang memberikan pelajaran untuk menjadikan kualitas manusia baik dimataNya dengan cara dan rencana yang tak pernah kita duga. Allah betul-betul mengajarkan sebuah pembelajaran yang takkan pernah aku lupakan.

 "Fabi ayyi alaa irrobbikuma tukadzibaan | Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan engkau dustakan" (Q.S Ar Rahman).