Selasa, 18 Juni 2013

Mimpi itu Jangan Realistis

Bedakanlah antara "Bermimpi" dan "Berangan", memang terlihat serupa tapi sama sekali tidak sama.  Berangan hanyalah sebuah keinginan, sebuah ucapan hati yang tak pasti, ucapan lisan "Andai saja..." tanpa visi dan tanpa ada komitmen mewujudkan, angan hanya timbul saat melihat orang lain lebih dari diri, timbul dari sebuah rasa iri lalu berangan. 
Namun, Bermimpi adalah sebuah getaran dalam hati, sebuah penglihatan yang sangat luas jauh kedepan, sebuah visi yang selalu membuat tangan gemetar disaat mengingatkan, sebuah jalan yang terlihat semu tapi ingin selalu ditapaki, sebuah simfoni indah yang melantunkan berjuta nada-nada indah yang menghanyutkan diri pada sebuah kata OPTIMIS. 
Mimpi adalah sebuah keyakinan akan apa yang diimpikannya, mimpi adalah sebuah keyakinan akan Kebesaran Allah yang menciptakan manusia dengan sempurna, mimpi adalah komitmen diri tentang bagaimana pengoptimalan segala apa yang Allah ciptakan dan segala apa yang Allah titipkan kepada manusia. 

Dikisahkan Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah SAW, "Ya Rasul, mana yang akan kita taklukan terlebih dahulu, Constantinovel atau Roma?" Perntanyaan optimis sang Pemimpi yang meyakini akan apa yang dia impikan, yang bertanya dengan imannya, yang bertanya dengan visi dimana Islam suatu saat nanti akan berjaya, sungguh sebuah komitmen ketauhidan yang sangat luar biasa. Pada waktu itu Rasullullah menjawab "constantinovel". Dengan segala keyakinan umat muslim pada saat itu berjuang untuk kejayaan dan menegakan din yang Allah ridhoi. Maha besar Allah, visi besar umat muslim saat itu terwujud meski nyawa sudah tak dikandung badan, visi besar yang dilanjutkan oleh pejuang muslim generasi setelahnya, kita kenal Muhamad Al-Fatih panglima perang muslim pada masa itu yang berhasil membawa pasukannya berjihad dan menaklukan constantinovel, mewujudkan visi para pejuang masa lampau untuk kejayaan Islam.

Kita kenal pula seorang kartunis Walt Disney, seseorang yang dimasa hidupnya mempunyai mimpi yang sangat besar menjadikan apa yang dia imajinasikan, dunia yang dia ciptakan dengan imajinasinya, menjadi sebuah kenyataan, menjadi sebuah dunia yang benar-benar ada, menjadi dunia yang menjadi surga dunianya anak-anak. Diakhir hayatnya Disney belum sempat mewujudkan mimpinya. Namun mimpi besar tidak terbatasi karena sebuah kematian, mimpi besar bagai virus yang baik dan menginfeksi sekitarnya untuk membuat hati bergetar dan ingin mewujudkan mimpi itu, benar saja Disney Land sekarang telah berdiri, mimpi Walt Disney terwujud oleh para penerus mimpinya.

Kita tahu pula Albert Enstein, Thomas Alfa edison, Graham Bell, Newton dan ilmuwan-ilmuwan besar lainnya menciptakan hal-hal hebat yang sangat bermanfaat, tentu semua berawal dari sebuah mimpi besaar, sebuah visi yang menggetarkan hatinya, sebuah keyakinan yang menggerakan setiap detile neurotransmitter diujing-ujung sarafnya membawa impuls optimis, memacu sinaps-sinaps di otaknya untuk bekerja lebih karena sebuah keyakinan bahwa mimpi besar itu akan terwujud.

Hal besar berawal dari sebuah mimpi besar. Ketakutan untuk bermimpi hanyalah nyanyian setan yang senang melihat manusia tenggelam dalam rasa pesimis, Keraguan merangkai mimpi seringkali karena kita terlalu terkekang dalam pola pikir realistis, pola pikir idealisme dalam sebuah rasionalisme, pola pikir yang terlihat benar namun kenyataannya mengekang diri untuk bermimpi hal besar. 

Bermimpilah hal-hal yang jauh dari realistis, bermimpilah hal-hal yang imajiner, bermimpilah sesuatu hal yang sangat besar melampaui kapasitas manusia yang terekang dengan pesimisme, karena itulah mimpi, bukan mimpi kalau realistis.
Dengan ketidakrealistisan sebuah mimpi, siaplah untuk dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang-orang munafik di dunia ini, siaplah untuk dicemooh oleh mulut-mulut manusia pesimis di dunia ini yang sebetulnya hanya iri melihat kita bermimpi besar. Janganlah takut, janganlah ragu untuk melangkah mewujudkan mimpi, Allah selalu bersama dengan orang-orang yang yakin dan optimis. Allahuakbar!

wallahualam bisawab.





Senin, 17 Juni 2013

Merubah Paradigma Konvensional tentang Dakwah


“Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, meyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Surah Ali Imran : 104)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Surah An Nahl : 125)
            Sudah sangat jelas perintah mengenai kewajiban “dakwah” bagi seorang muslim. Dakwah memiliki beberapa pengertian, secara bahasa dakwah dapat berarti menyeru, menuntut, meminta, mendorong untuk melakukan sesuatu, do’a. Secara istilah dakwah dapat diartikan menyeru manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik hingga mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, keluar dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam. Ada beberapa point penting yang dapat diambil mngenai dakwah, diantaranya dakwah itu adalah sebuah aktivitas menyeru dengan objeknya adalah manusia, dengan cara yang “hikmah” dengan nasehat yang baik, tujuannya adalah agar yang diseru kembali kepada Allah dan mengingkari kemungkaran dan kembali kepada cahaya Islam.
            Dakwah tidak hanya sebatas menyeru, tetapi dakwah memiliki tahapan tersendiri yang seharusnya dilaksanakan. Tahap awal adalah menyeru pada kebaikan, mengubah kejahiliyahan dengan pengetahuan keislaman, tahapan selanjutnya adalah menjadikan pengetahuan yang diberikan itu menjadi pola pikir objek dakwah, setelah menjadi sebuah pola pikir hingga timbul gerakan atau aktifitas dari hasil dakwah tersebut menjadi sebuah aplikasi positif, hingga tujuan awal dari dakwah tercapai.
            Kendala dalam dakwah salah satunya adalah paradigma yang sudah melekat sejak lama pada kebanyakan orang awam. Kebanyakan orang beranggapan bahwa dakwah adalah kewajiban para mubaligh, dakwah itu adalah ceramah-ceramah para mubaligh yang sering mereka lihat di mesjid atau acara-acara besar, dakwah itu dilakukan oleh orang-orang alim yang berilmu agama sangat tinggi, dakwah itu dilakukan oleh orang-orang lulusan pesantren, dan paradigma – paradigma lainnya yang sudah sangat melekat pada kebanyakan orang. Paradigma inilah yang mesti diarahkan kepada jalan yang semestinya.
            Dengan adanya mentoring di kampus, diantara kalangan mahasiswa yang notabene merupakan pemuda, para penuntut ilmu, bibit-bibit manusia berkualitas pelurus bangsa ini, menjadi langkah awal tersendiri dalam merubah paradigma lampau mengenai dakwah tersebut. Dilakukan oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa, sama-sama belajar dan saling ingat –mengingatkan dalam kebaikan, saling memberi contoh yang baik, saling memberi tahu apa yang masing-masing sudah diketahui. Merubah alur dakwah yang tadinya satu arah antara “si pemberi” dan “si penerima” menjadi “saling memberi”. Diharapkan dari hal tersebut terus menjadi follow up dakwah kampus yang terus kontinyu hingga jenjang yang lebih tinggi. Sebagaimana trilogi dakwah kampus yang menyatakan bahwa mahasiswa merupakan Agent of change and Iron Stock  yang sangat berpotensi dalam mengembangkan dakwah kampus, merubah paradigma konvensional kebanyakan orang mengenai dakwah.
            Kendala lainnya yang menghambat jalannya dakwah adalah kebanyakan orang merasa bahwa dirinya belum cukup ilmu untuk menyampaikan kebaikan, minder, merasa tidak pantas dan lain sebagainya. Coba kita pikir, jika kita terus berasumsi bahwa ilmu kita belum cukup untuk menyampaikan kebaikan, dari situ seharusnya muncul pertanyaan “Saat ilmu itu berhasil kamu tumpuk hingga kamu merasa cukup berilmu, masihkah nyawa dikandung badan?” Sungguh ilmu itu sangat luas bahkan jika seluruh pohon menjadi pensilnya dan samudera menjadi tintanya, takkan mampu menuliskan seluruh ilmu yang Allah anugerahkan untuk dipelajari. “Sampaikanlah ilmu walau satu ayat” sudah jelaskan perintahnya? Ilmu yang diamalkan walau sedikit  akan lebih bermanfaat dibanding ilmu yang ditumpuk untuk diri sendiri. Paradigma konvensional itu mesti dirubah, pemikiran-pemikiran pesimisme harus diubah menjadi pemikiran optimisme. Jika saat ini merasa minder karena ketidakmampuan diri, jangan “melarikan diri”, tapi cukupilah kapasitas diri.
Ghozwul fikri menjadi tantangan terbesar dakwah saat ini, pemikiran-pemikiran pesimisme dan paradigma konvensional menjadi akar permasalahan dakwah. Namun dengan adanya tantangan besar tersebut akan melahirkan da’i-da’i tangguh, pementor –pementor tangguh yang akan merubah paradigma konvensional tersebut. Dengan basic mahasiswa, seorang yang haus akan ilmu duniawi, juga harus haus akan ilmu akhirat, terus mengupgrade pengetahuan mengenai hubungan manusia dengan Allah, mengemas dakwahnya dengan seapik mungkin hingga mencetak kader-kader penerus dakwah kampus.
Dan yang terpenting adalah terangi diri seperti engkau menerangi sekitarmu. Seorang pementor ideal jangan seperti lilin, menerangi sekitar tapi dirinya terbakar hingga habis dan tak mampu menerangi sekitar lagi, seolah yang disampaikan hanya sebuah bualan yang tak dilakukan oleh dirinya sendiri. Jadilah seperti matahari yang menerangi bumi sepanjang hari, bahkan disaat malam hari cahayanya masih dapat terlihat dari pantulan sang rembulan.
            “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash shaff : 2-3).

Sudah sangat jelas bahwa sangat perlu berhati-hati dalam berdakwah, jangan sampai apa yang disampaikan sama sekali tidak mencerminkan diri, sama sekali tidak pernah dilakukan, samasekali itu hanya sebuah kemunafikan diri yang tujuannya bukan karena Allah. Untuk itu perlu meluruskan niat terlebih dahulu sebelum berdakwah, sebelum melaksanakan kewajiban, tanya pada diri untuk apa melakukan hal tersebut, apa tujuannya melakukan hal tersebut, sungguh sebaik-baiknya niat adalah karena ridho Allah, lillahita’ala.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Ash Shaff : 4).

            “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran” (Al Ashr : 1-3).


Wallahualam bisawab.

Jumat, 07 Juni 2013

Sederhana itu mempesona


Glamor, perhiasan, make up, dan segala hal tersebut bagi kebanyakan wanita merupakan aspek penopang kecantikannya. Sudah menjadi kodratnya wanita ingin tampil cantik, sangat normal sekali.
Tapi kawan, bgaimanakah kecantikan yang hakiki bagi seorang wanita muslim? SEDERHANA, itulah jawabnya.
Sederhana saja untuk menjadi muslimah untuk menjadi cantik, menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, itulah cantik.
Menyembunyikan segala perhiasan yang dimiliki kecuali pada suami atau yang menjadi makhromnya, itulah cantik.
Menjadikan dirinya begitu mahal dan tertutup rapat saking berharganya, itulah cantik.
Menghijabi hati untuk memupuk bunga-bunga indah dalam hati hingga bermekaran hingga suatu saat ada seorang yang berhak ikut memeliharanya dalam ketaatan, itulah cantik. 
Cantik itu bukan kemewahan, cantik itu bukan perawatan mahal yang rutin, cantik pula bukan tubuh yang diobral murah untuk mata para laki-laki yang sudah menjadi kodratnya mempunyai syahwat terhadap wanita.
Cantik itu sederhana, kecantikan sejati hanya dapat dimengerti dengan mata hati, pesona kecantikan sejati hanya dapat dilihat dengan hati yang berserah diri, kecantikan sejati berselimut akhlaqul karimah yang akan membuat bidadari surga iri melihatnya. Subhanallah, maha suci Allah yang telah menciptakan kecantikan.