Sabtu, 08 Februari 2014

Hargo Dumilah, 3265 mdpl

"Pokoknya kita harus berhasil berdiri di puncak, setelah ujian akhir catet di kalender kalian, 17 Januari kita mendaki!" Marwan sangat semangat sekali. "Puncak mana kita? Ungaran? Sindoro? Lawu?" Lanjutnya.
4 bulan yang lalu, di awal semester 3, jiwa petualang kami sangat menggebu, ingin lepaskan penat setelah akhir semester 3 dengan berdiri di puncak gunung di pendakian pertama kami.
Aku sangat bersemangat juga saat itu, begitupun dengan Nizar, Radi, dan Farid yang juga ikut nongkrong sambil ngobrol bareng di kelas saat dosen belum datang.
Matahari Desember 2013 sudah terbenam, perjalanan dan perjuangan akademis di semester 3 sudah usai, keringat bercucuran buahkan hasil maksimal, harga yang cukup mahal yang perlu di bayar oleh keringat dan kantong mata yang menghitam, ujian telah usai dengan hasil yang memuaskan bagiku. Matahari Januari 2014 pun siap menebar kehangatan di Tahun baru. Ternyata bumi berhasil berevolusi dengan mulus, mengantarkan kami mendekati 17 Januari 2014. Tapi sayang sekali jadwal yang sudah kami rencanakan jauh hari bentrok dengan Pendidikan Dasar TBM Maladica. Terpaksa kami batalkan rencana kami, tepatnya kami undur, tapi entah kapan belum kami tentukan waktunya.
Matahari Januari kini berselimut awan mendung yang sembunyikan senyum hangatnya dengan rintik hujan. Tapi hujan tak urungkan kegiatan diksar lapangan TBM Maladica di gunung Ungaran. Seru juga, mendaki juga, beretualang juga, tapi tak sampai puncak, badai sangat besar saat itu, penderitaan yang menyenangkan saat badai tersebut. Dingin, basah, menggigil, tapi asyik.
Diksarpun selesai 2 hari berikutnya, cukup melelahkan, tapi tak cukup lelah bagiku, Marwan, Nizar, Radi saat itu karena kami masih punya tekad berdiri di puncak. Akhirnya kami putuskan untuk mendaki lagi, Puncak gunung Lawu sasaran kami. Farid akan turut serta di pendakian kami, dia yang sudah pengalaman juga dengan Lawu.
Tanggal 23 Januari menjadi pilihan kami, kebetulan hari itu hari yang special juga untukku, hari dimana Mamahku berhasil memperkenalkan dunia padaku dengan mempertaruhkan nyawanya. Ya, itu hari ulang tahunku. Sayang sekali saat itu Radi tak jadi ikut mendaki, dia ingin pulang katanya. Akhirnya kami hanya aku, marwan, nizar dan farid yang berangkat. Hujan deras semalaman hingga subuh hujan masih deras, namun tak urungkan niat kami untuk berangkat.
Perjalanan Semarang-Karanganyar 4 jam kami tempuh dengan sepeda motor, rasanya carrier menyiksa selama perjalanan, menguras banyak energi bebani pundak selama dibonceng dengan motor 4 jam.
Sesampai di Karanganyar kami beristirahat, solat, ngaji, makan untuk persiapan fisik dan mental untuk pendakian. Sempat terasa rintik hujan menyapa kedatangan kami saat itu, kabut sangat tebal, sempat urungkan niat kami untuk mendaki pada malam tersebut. Tapi rasa takut terkalahkan dengan "lapisan tekad setebal baja, kaki yang ingin melangkah jauh dari biasanya, tangan yang akan banyak berbuat dari biasanya, mata yang ingin melihat lebih banyak dari biasanya, dan mulut yang selalu berdo'a" setidaknya kutipan dari novel 5cm itu cocok untuk semangat kami malam itu. Nekad memang, tapi hajar saja lah.
21.00 WIB, kabut seolah enggan untuk pergi, udara kian menit kian giat tuk telanjangi tubuh kami dari pakaian yang kami kenakan, dingin sekali. Tapi setidaknya perut terasa hangat terisi soto ayam dan segelas kopi jahe yang membuat mata semakin melek.
"Petualangan dimulai!" teriak hati kami setelah briefing dan berdo'a. Ya, petualangan telah dimulai pada 21.15 WIB setelah melewati gerbang awal pendakian gunung Lawu. Saat itu Farid menjadi leader, Marwan menjadi Sweeper (menejemen pendakian yang kami pelajari pada saat Diksar Lapangan  sangat berguna malam ini). Track pendakian berbatu, cukup rata di awal pendakian, kanan dan kiri hutan dan semak. Dzikir tak henti-hentinya terlantun di bibirku, agar selalu terbangun dan tidak melamun selama perjalanan "nekad" ini. Semakin lama mulai terasa otot-otot betis mulai terasa panas dan nafas mulai terengah-engah, setelah kuperhatikan ternyata tracknya mulai bebatuan terjal dan semakin meruncing tak beraturan, sangat tak bersahabat dengan telapak kaki yang membuat kaki terasa cepat lelah. Perjalanan cukup santai saat itu, mengingat stamina kami sudah terkuras selama perjalanan Semarang-Karanganyar. Perjalanan kami lanjutkan dan sampailah kami di pos 1. Perjalanan masih panjang, masih 4 pos lagi yang harus kami capai sebelum puncak. Setelah break sejenak di pos 1, perjalanan dilanjutkan.
Lelah mulai menggerayangi tubuh selama perjalanan menuju pos 2.
"Astahfirullah, ya Allah!" keluh kesakitan dari Nizar sambil memegangi perutnya. "Break!" teriakku melihat keadaan Nizar seperti itu. "Waduh perutku sakit banget! gak kuat!." Muka Nizar semakin pucat, keringatnya bercucuran walaupun saat itu udara sangat dingin. Kami bingung saat itu, mau balik ke bawah sudah jauh, sulit di jangkau dengan waktu yang cepat mengingat keadaan Nizar seperti itu.
"Zar coba kamu buang aja di semak, berdo'a dulu" ujarku, menebak bahwa nizar kena diare. Seolah tak pedulikan di semak itu ada ular atau apapun itu, rasa mulas yang luar biasa sepertinya membuat semak gelap yang rindang itu bagai toilet yang paling Nizar idamkan selama hidupnya dengan keadaan di tengah hutan seperti ini. Tugasku meneranginya dengan cahaya senterku, sambil aku membelakanginya. Tak kuasa aku menahan tawa membayangkan muka Nizar yang pucat dan menahan mulas, ditambah suara khas "pratt prett prott" yang  berpadu dengan jangkrik yang bernyanyi merdu serta suara hembus angin yang terdengar syahdu, seperti sebuah konser alam, "komposisi nada yang pas!" pikirku tertawa geli. Ada-ada saja kawanku ini. Setelah selesai bertempur di semak-semak langsung aku beri ia obat diare. Untung aku membawa persediaan medis lapangan cukup lengkap.
Okey, perjalanan kita lanjutkan, ekspresi muka Nizar masih belum normal, pucat, berkeringat, kasihan sekali, tapi sangat mengocok perut ingin ketawa melihatnya, ditambah lagi dengan imajinasi "konser alam" ku tadi.
Setelah agak jauh perjalanan dan beberapa kali break, perut Nizar kembali berkontraksi "ya Allah, astagfirullah, aduh mules sekali" kondisinya saat itu tak ada semak selebat tadi, tak ada toilet senyaman tadi. "Aduh udah di ujung nih! gak ada semak!" lirihnya. Akhirnya kantong kresek menjadi toilet ternyaman kedua selama hidup nizar pada malam itu. Pertempuran kembali dimulai dengan suara khasnya, konser alam juga dimulai lagi, kini jangkrik kian nyaring, dan ada bunyi tambahan dari kresek membuat kompleksitas nada semakin beragam, ciptakan simfoni yang berbeda dari yang pertama tadi.
"Ayo zar, abisin, sampe lega hehe" ujarku menyemangatinya.
Akhirnya usai sudah perjuangan Nizar, setelah pertarungan ronde 2 tak ada masalah lagi dengan perutnya, mungkin efek obat mulai bereaksi.
Jam menunjukan 22.30, belum sampai juga di pos 2, rasa lelah kian erat memeluk tubuh kami, banyak break saat itu. Setelah mengerahkan sisa tenaga yang ada, akhirnya kami sampai di pos 2. Kemudian kami kayuh lagi kaki kami melanjut ke pos 3, tapi di perjalanan menuju pos 3 sepertinya kami sudah kehabisan tenaga, juga kelopak mata kami terasa sangat berat, kami putuskan untuk tidur sejenak untuk memulihkan tenaga. Beratapkan langit, terintip oleh bintang-bintang yang berkedip tak sembunyi di balik awan mendung tak seperti biasanya malam ini begitu cerah di musim hujan, Allah ternyata lindungi kami, semoga pendakian kami tak terhadang badai, do'a menjadi kekuatan yang mutlak saat itu.
Bersandar pada carrierku, di atas batu yang cukup rata dan datar kerebahkan badan, menikmati kerlip bintang, mencoba pejamkan mata, kulihat teman-temanku sudah terlelap, "cepat sekali" pikirku. Aku masih belum bisa tidur, ku lihat jam, hampir 23.30.
Semua terasa gelap, suara hening membuat deru angin semakin terasa menggelegar, udara semakin lama semakin menusuk. 23.45, sepertinya tadi aku tertidur sebentar, terbangun oleh tusukan tajam dari udara gunung Lawu yang dingin saat itu. Badanku mulai menggigil, termostat di hipotalamusku mulai melewati ambang toleransinya. 00.30 aku masih terjaga, tak mampu pejamkan mata karena terusik oleh dingin yang luar biasa. "wuufhhhh dingin banget!" Marwan terbangun rupanya. "Mending kita lanjut jalan yu, kalau gak banyak gerak akan terasa sangat dingin, bahaya, lama-lama bisa hipotermi" sautku.
Akhirnya perjalanan menuju pos 3 dilanjutkan, track semakin lama semakin terjal, bukan hanya kaki yang berlu berusaha mendaki, kadang tanganpun perlu meraih bebatuan di atas untuk membantu mendaki. Sangat menguras energi, dan perasaan tak sampai-sampai ke pos tiga, jauh juga track dari pos 2 ke pos 3.
1.00, kelopak mataku terasa semakin berat, ngantuk sekali, ini kesalahanku tadi gak mampu menggunakan kesempatan tidur dengan optimal.
"Aku butuh tidur kayaknya, gak sanggup jalan lagi." keluhku dengan suara yang agak parau saat itu. Kami memutuskan untuk break tidur, kali ini beralaskan tanah, terasa lebih hangat di bandingkan di atas batu, akhirnya aku bisa terlelap, bersender pada carrierku.
"Yo bangun! udara semakin dingin" ajak Marwan. ku lihat jam tanganku menunjukan 2.00, cukup lama juga aku tidur. Perjalanan kami lanjutkan menuju pos 3 yang tak kunjung sampai. 3.20, kulihat langit mulai lebih terang, langit subuh mulai mendekat.
"Pos 3 udah kelihatan, yoh semangat!" saut Farid. Hampir jam 4 pagi, hampir sampai juga di pos 3.
Sesampainya di pos 3 kami putuskan untuk menunggu waktu subuh disana. 4.45 kami putuskan untuk sembahyang subuh, mengingat jadwal sholat di HP ku sudah masuk waktu subuh.
Setelah sholat subuh kami lanjutkan perjalanan menuju pos 4. Langit semakin terang, cahaya matahari mulai menyeringai dari balik pepohonan, nafas terasa semakin pendek dan sesak, oksigen menipis, track terlihat semakin terjal, otot-otot paha rasanya terasa panas setiap melangkah.
Sesampainya kami di pos 4 kami putuskan untuk lanjut ke pos 5, tak sabar rasanya ingin cepat memijakan kaki di puncak, semangat semakin menggebu, sampailah kami di pos 5. Subhanallah, pemandangan yang menakjubkan, kombinasi warna langit biru dan putih awan yang sempurna mampu menembus rasa lelah berganti menjadi rasa syukur pada Sang Pencipta yang menciptakan keindahan yang luar biasa.
Puncak semakin dekat, di pos 5 kami tinggalkan carrier kami agar beban tidak terlalu berat. Perjalanan dari pos 5 menuju puncak bsa di bilang surganya perjalanan, di suguhi pemandangan tebing yang megah, lautan awan terhampar dengan indahnya, percik sorot matahari malu-malu muncul dari balik tebing dan pepohonan, tumbuhan-tumbuhan gunung beserta warna bunga yang menambah keindahan dan kepuasan pandangan mata dan hati, sungguh Allah Maha Agung, Maha Indah, Maha Sempurna yang menciptakan keidahan yang luar biasa.
Setelah 11 jam kaki melangkah, setelah keringat banyak bercucuran ditengah udara yang dingin menusuk, setelah jantung berdetak kencang ketika ambisi kian menggebu, dan setiap lantunan do'a di setiap langkah yang iringi perjalanan kami, akhirnya kaki kecil ini memijak tanah puncak gunung Lawu.
Nafasku kian memburu, jantungku kian berdetak semakin kencang, renyuh haru menatap keindahan hasil perjuangan panjang, tertuang oleh sujud syukurku di tanah Hargo Dumilah, puncak gunung Lawu, ketinggian 3265 meter di atas permukaan laut, Karanganyar, Jawa Tengah. Subhanallah, Allahuakbar! 
"Rif, ini hadiah ulang tahun dari kami!!" ujar Marwan. "Hadiah yang sangat indah bro! Puncak Lawu!!!!" balasku.
Perjalanan yang bermakna, perjalanan mendaki pertamaku, pendakian di hari ulang tahunku, perjalanan ternekad di musim hujan, untungnya Allah Maha Penyayang mengahisi kami hingga tak setetespun air hujan turun untuk menyusahkan. Alhamdulillah.
Itulah cerita kami, kawanku, kusampaikan salam dari Hargo Dumilah, 3265 mdpl. Salam hangat kami (Rifqi, Marwan, Nizar, Farid).
Persiapan Menuju Karang Anyar















Sampai di Karanganyar, Cemoro Sewu, Masjid An Nur

Istirahat, Solat, Makan, Persiapan Mendaki

Menenangkan pikiran, perisiapan mendaki









































Siap Mendaki, Gerbang Cemoro Sewu


















Perjalanan malam















Sebentar lagi Puncak



















Hargo Dumilah, Puncak Gunung Lawu, 3265 mdpl















Nikmat dari Allah yang begitu indah, Samudera Awan dari Hargo Dumilah

Jumat, 07 Februari 2014

Lukisan Indah

Lukisan indah, seolah tak ingin kehilangan moment untuk terlewatkan disetiap hari untuk menikmati keindahan kombinasi warna yang tertuang dalam kanvas oleh tangan Sang Maestro nada-nada warna dan garis yang sangat kreatif.
Ketika intensitas itu terlalu berlebih, seolah tersadar bahwa ada yang salah dengan caraku menikmati keindahan lukisan itu, ada yang salah dengan caraku mencintai lukisan tersebut. Ya, Sang Mastro tentu tak ingin hanya apa yg tertuang dan terlihat di kanvas saja yg dicintai, tapi setiap maksud yang tergores dan tersampaikan melalui warna-warna itu yang harus aku cintai dan aku fahami. Karena apa? Warna dan keindahan yang kita lihat mampu memudar tanpa toleransi tergores kejamnya waktu, jika aku hanya menikmati keindahan itu oleh mata dan logika saja, tanpa mengerti maksud dari kecintaanku yang tercipta oleh tangan kreatif Sang maestro, tentu akan fana dan menipis layaknya cat warna yang memudar terkikis zaman. Akhirnya aku mencoba untuk fahami setiap garis, setiap warna, setiap tempo dan gradasi warna menjadi sebuah pesan yang jauh lebih indah dibanding dengan apa yg hanya aku lihat dengan logika dan mata yang fana. Ketika keindahan itu memudar, namun cinta akan tetap ada tak berkurang sedikitpun, karena keindahan yang sejati mengalir di setiap aliran darah, masuk ke jantung dan berada di setiap detakkannya. Itulah cinta, itulah cara mencintai, logika tak cukup untuk mencintai, mata tak cukup untuk mencintai, namun ketika cinta itu difahami dengan benar, mengalir layaknya darah hangat yang mampu mengalirkan kehangatan ke seluruh tubuh, yang mampu tepis lelah kala pantaskan diri, cinta itu akan tetap bersemayam dalam hati, cinta itu akan bertahan dari badai waktu yang menerjang, cinta itu akan teguh bertahan walau terpisah jurang terjal hingga jembatan "kepantasan" siap disebrangi untuk menjemput lukisan indah di seberang sana.

Kembali lagi teringat nasihat Imam Syafi'i "Bersabarlah dengan sabar yang hanya sebentar saja..".