Senin, 22 September 2014

Mengukir Jejak

Seperti manusia pada umumnya, aku juga adalah seorang yang punya mimpi, cita-cita, serta seseorang yang idaman, yang ingin semua itu dapat tercapai. Manusiawi kah?
Suatu hari, tiba-tiba hati merasakan keresahan yang teramat. Tak seperti biasanya, tak setenang biasanya, hati begitu gundah memikirkan hal yang masih jauh di depan.
berawal dari curahan hati seorang sahabat yang kehilangan semangat mengejar sang idaman, dia bilang “terkadang kita hanya memandang keatas, tanpa kita sadari kita sedang meluncur untuk tersungkur.”. Sebuah ungkapan pesimistis yang sangat berpengaruh, magis.
Hati terasa gontai, terombang - ambing layaknya ilalang tersapu angin, bergerak sekehendak angin membawa. Merenung cukup lama, bisikan-bisikan pesimis merasuk, meracuni hati. “Apakah sudah benar langkah yang aku ambil ini? prinsip ini? bagaimana jika semua keyakinan ini hanya optimistis semu yang justru akan membuatku tersungkur dan tak mampu memandang keatas lagi, toh puncak yang hendak kupijaki tak pernah tahu kalau aku hendak datang.” Jerit hati yang gundah kala itu.
Hati bertambah gundah ketika teringat bahwa perjalanan ini teramat panjang, tak cukup hanya sampai sarjana, masih panjang jembatan yang hendak aku lalui hingga aku mampu untuk mengukir jejak di puncak sana. Akankah puncak itu sudi tuk menerima jejak kakiku? yang terlalu lama tak kunjung datang? Mungkinkah sebelum kuukir jejak langkahku di puncak itu, telah ada jejak lain yang singgah dan lebih dulu pantas untuk menggapaimu?
Layaknya buih yang terombang-ambing oleh ombak yang dahsyat, hati gundah ini tak tau arah. Astagfirullah, tersentak hati ini kala gundah, terbangun di gulita malam, seolah aku terlupa akan sesuatu yang penting. Ya, kesalahan terbesarku adalah aku lupa bahwa hati gundah ini ada Yang Memiliki, Yang Maha Mampu membolak-balik hati, Yang Maha Mampu melapangkan atau menyempitkan hati ini. Pada akhirnya buih ini sampai pada permuaraan, sujud berserah diri, merendahkan hati ini serendah-rendahnya kepada Sang Penguasa Hati, permuaraan itu. Ihdinashirootolmustaqiim Tunjukkanlah hamba pada jalan yang lurus.
Terang saja hati ini tak menentu, Aku hanya rindu bersua dan bercengkrama dengan Yang Maha Mendengar, aku hanya terlalu sombong dengan segala kesibukan duniaku hingga aku lalai untuk khusuk merayu kepada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Hati ini kembali menemukan jalannya, dan kembali mengukir jejak-jejak penuh makna, hingga entah kapan akan kuukir jejak langkahku di puncak itu.
BERSAMBUNG