Minggu, 08 Maret 2015

Salah Kaprah

Di suatu hari yang santai nan ceria, seorang cowok iseng nanya ke temennya yang perempuan.
{A = cowok ; B = cewek}
A : “Kenapa sih kamu kok gak pakai hijab? kamu kan udah baligh”
B : “Aku gak mau dibilang munafik.”
A : “Lho kok?” bingung.
B : “Iya aku gak mau kalo pake hijab, tapi kelakuan masih kayak gini, ibadah ya masih alakadarnya, hati belum siap menerima semua itu sob.”
A : [Garuk-garuk kepala, walau pun tidak gatal sama sekali]
B : “Aku heran deh, banyak kan yang udah pakek hijab, menutup auratnya, tapi akhlaqnya gak mencerminkan sama sekali, munafik, sok alim.”
A : “Hmmm tunggu dulu deh. Kamu masih solat kan?”
B : “Masih lah! gile aja lu, kalo gua gak solat mah, bisa-bisa masuk neraka gue.”
A : “Kenapa kamu masih solat?”
B : “Ya karena kan emang kewajiban bro, perintahnya kan sudah jelas, gimana sih.”
A : “Owhh gitu ya, jadi kalo preman misalkan, dia solat, gak apa-apa kan?”
B : “Ya gak apa-apa lah, kan wajib.”
A : “Lalu kamu sendiri, gak apa-apa kan kalo pake hijab, menutup aurat. Kan kewajiban hehehe.”
B : [diem, mikir, cengo]
A : “Gini sist, memang sebaiknya pelaksanaan kewajiban ibadah harus terimplementasi terhadap kehidupannya sehari-hari yang lebih baik dan beradab, tapi kan kewajiban is kewajiban, sesuatu yang memang harus dilakukan kan? kan kamu bilang tadi bahwa perintahnya sudah jelas bukan? ya gak?” Nyengir. *skakmat.
B : [Diem, lihat jam] “hmmm.. duh aku ada janji nih, duluan ya.”
A : “yeeeh malah pergi -____-“

so, can you get the point?

Kau Tau Aku siapa

Tuhan menciptakanku untuk makhluk-Nya yang memiliki akal pemikiran.
Aku hanyalah seonggok rasa, sebesit pemikiran yang akan melintasi kepala mereka, ketika mereka hendak melakukan sesuatu.
Aku lah si penentu bagaimana Tuhan menilai amalan mereka, akulah si parameter keberhasilan suatu hasil, akulah si parameter untuk melihat keberhasilan proses sejak awal proses itu berjalan, akulah si rasa yang paling tersembunyi dalam pemikiran manusia. Yang tak seorangpun dari kawanan mereka tahu,  bentuk seperti apa aku ini, yang bahkan mereka sendiri berusaha menutupi aku .
Jika kawanan mereka melihatku dengan nyata, mereka akan tercengang melihat rupaku yang sebenarnya. Betapa tidak? Aku bisa membuat si Jahat terlihat baik karena aku tak terlihat, begitupun sebaliknya, aku bisa membuat si baik terlihat jahat karena ketidak tampakkan ku.
Jika diibaratkan , aku ini layaknya sebuah senyawa kimia yang sangat tidak stabil, berubah dengan begitu cepat, dengan terpengaruhi reaksi kimiawi lain pun aku mudah berubah sifat. Bahkan dengan seketika, aku pun bisa menjadi racun yang membahayakan pemilikku, bukan di dunia, tapi ketika nanti , setelah aku tak lagi mencampuri urusan mereka.
Aku lah si wajah asli dari balik topeng "kebaikan" yang tampak nyata, aku lah si wajah asli dari balik topeng "keburukan" yang tampak nyata. Akulah si buruk rupa dibalik topeng si tampan rupawan, akulah si tampan rupawan dibalik topeng si buruk rupa. 
Aku bernama niat. Aku bersemayam di hati mereka, manusia.
Suatu Ketika, salah satu orang dari kawanan mereka, dialah yang menjadi panutan terbaik bagi semesta alam, ia begitu memahamiku, begitu mengerti betapa aku ini sesuatu yang tak kasat mata namun dapat menikam yang memiliki aku, tanpa mereka sadari.
Beliau memberi pesan “Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu kepada kesenangan dunia yang hendak didapatnya, atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya.”

Senin, 02 Februari 2015

Rinai Hujan

Bumi berputar terasa lebih lambat dari biasanya. Angin bergerak lembut, menampar  diri, sadarkan betapa dinginnya hari ini, di kota ini, yang terselimuti hangatnya keadaan hati di persembunyiannya.
Rinai hujan yang berjatuhan, mereka yang tak pernah sendiri, menghantam bumi, berirama, menjawab setiap pertanyaan yang tak nyata. 
Langkah kaki yang terasa sangat lambat, seolah tak ingin lekas sampai ke tuju. Inginkan waktu untuk bergerak pelan “tik………..tok…………tik…………..tok…………”
Lalu semua seolah nyata bergerak melambat, sangat lambat. Semua terdengar sangat hening, hening sekali. Gemuruh langkah kaki dan kesibukan manusia di sekitar pun tak terdengar. Hanya rinai hujan yang terdengar syahdu berirama,  menghantam bumi lebih keras terdengar dari apapun, “bum..bum..bum..”. Ah ternyata bukan rinai hujan yang bersuara, bahkan ia pun ikut senyap sama dengan yang lain. Lantas suara apa itu?
Awan mendung, kian mendung, mentari terlalu malu menampakkan diri, enggan tuk tampakkan pelangi, hanya untuk sekedar manjakan mata di balik kaca berkabut ini. Namun, ditengah rinai hujan, di kota ini, aku melihatnya. Bukan oleh mata dibalik kaca berkabut ini, aku melihat lengkungan penuh warna itu, merasakan kehadirannya, oleh mata yang menyimpan berjuta rasa, berjuta tanya, dan berjuta jawab yang tak terucapkan kata. 
Apakah hanya aku  yang melihat pelangi itu di tengah rinai hujan ini?
Waktu yang berjalan pelan, terus berjalan tiada henti, beriringan kaki melangkah, teduh di tengah rinai, di bawah sebuah naungan, dan untuk saat ini secara harfiah kaki sedang melangkah, namun bukan di jalan masing-masing. 
Waktu yang berjalan pelan, terus berjalan tiada henti, mengiringi langkah kaki dan membawanya kepada sebuah persimpangan jalan, untuk kembali kaki berjalan, di jalan masing-masing, untuk sama-sama menguatkan kaki yang lengah dan gontai selama ini, menjadi kaki yang siap berlari mengejar apa yang harus di kejar, menggapai apa yang harus lebih dulu di gapai.
Rinai hujan yang turun dari langit, menjawab berjuta tanya, menjawab berjuta gundah, menampakkan lengkungan itu, yang terbalut dalam sunyi, teredam dalam iman dan terjaga oleh kesungguhan.


Di tengah rinai, di bawah sebuah keteduhan. [Februari, 2015]

Cerpen: Sebuah Irasionalitas?

"Tuh, liat di film, cowok yang kelamaan ‘jaim’, bakalan nyesel dikemudian hari, ngelihat cewek yang kamu suka bahagia sama orang lain. Nyesel kamu ntar. Dia gak sempet tau tentang perasaanmu." Celetuk seorang anak ABG yang seolah lebih berpengalaman, mengguruiku.
"Come on, it’s a movie, no more, no less." Jawabku ketus, enggan menanggapi lebih lanjut ocehanburung beo satu ini.
"Sakitnya tuh di sini bang. hahahaha" timpalnya, sambil menunjuk dada, ala-ala anak muda jaman sekarang yang gahol.
meghela napas pandek sambil sedikit geleng-geleng, tak menunjukkan wajah kesal, pasang wajah lempeng, lalu sedikit menjitak kepala ABG yang kicauannya sudah seperti burung beo, mencermahiku sejak tadi, sepanjang film yang kami tonton, disetiap adegan romantis dan adegan ngenes pasti dia berkicau mengguruiku, “Realistis napa bang?” ocehnya yang sering aku dengar. 
"Dasar bocah." tanganku sambil ngucek-ngucek bagian kepala yang tadi aku jitak. Anggap saja sebagai tanda maaf.
Disuruh mikir realistis seperti kebanyakan orang dalam hal begini, oleh seorang bocah. Tapi sayang sekali, sepertinya aku bukan sebagian dari kebanyakan orang itu.
***
"Gimana kabar dia?" Tiba-tiba pertanyaan itu mengoyak senyapnya alam, mengorek  pikiran yang sedang konsentrasi di balik kemudi sebuah besi beroda empat.
"Kabar siapa? kabar iman dan taqwa? Alhamdulillah mereka baik saja, kabar istiqomah? dia juga sedang tetap berada di tempatnya gak kemana-mana tuh. hehe" Jawabku mengalihkan arah pembicaraan, yang sebetulnya aku faham betul kemana arah pertanyaan dari orang yang duduk disebelah kemudiku.
Ah, lagi-lagi arah pembicaraan ini menuju ke arah rasionalitas yang memaksaku berpikir sama, berpikir realistis, tapi, sayang aku bukan orang yang realistis versi orang kebanyakan.
***
"Cukup 25 % saja untuk saat ini, itu sudah manis kok,  sisanya, nanti kalau sudah waktunya saja. Untuk saat ini, sampai nanti, percayakan padaku." Senyumnya menentramkan, aku bisa bayangkan itu, walau percakapan ini melalui telpon.
Ditengah pikiran yang bimbang, dengan pertanyaan yang bertubi-tubu “Bagaimana jika…?”, “Tapi kan…?”, “Apa aku menyerah saja dengan ego ku ini…?”, “Apa aku terlalu irasional..?”, “Apa aku terlalu naif..?”.
Seolah sangat faham bergejolaknya kegundahan di hati ini, ia berusaha tentramkan. Seolah mengerti kebingungan hati, ia berusaha tenangkan dengan kalimatnya. Ah memang sangat tepat berbincang dengan orang yang paling kenal diriku sejak aku terlahir, oh bukan, sejak aku berada di dalam rahim tentunya. Pilihan yang sangat tepat.
Tak memaksaku untuk berpikir realistis, hanya memberiku solusi untuk bertahan di jalan ketidakrealistisanku yang kata kebanyakan orang itu.
Terlalu dini memang aku memikirkan ketidakrasionalan ini, terlalu dini memang, aku akui itu, aku masih hijau. Tapi betapa tidak, itu meletup begitu saja, diolah oleh sang pemilik waktu, yang dengan waktunya yang terus berjalan Ia membuat sebuah keteraturan rasa, seolah seperti Big Bang Theory yang mewujudkan keteraturan alam semesta, dan aku tak bisa menolaknya dan pura-pura tak merasakannya. Salahkah aku yang tetap bertahan?
***
"Dalam kehidupan di dunia ini, seiring dengan keberjalanannya, memaksa kita untuk selalu berpikir rasional, hampir disegala aspek kehidupan. Tapi, ada sudut dalam kehidupan ini, dimana irasionalitas adalah hal yang paling rasional. nurani."
Semoga kau tak bosan dengan waktu, yang akan cukup lama jika ditunggu dengan sisi rasionalmu.
Oh tunggu, apakah kau juga sama, berpikir irasional sepertiku? 
Semoga waktu tak bosan melaju hingga ke-irasionalan ini menjadi hal yang paling rasional, bukan hanya versiku, tapi kebanyakan orang pun akan setuju.

Senin, 26 Januari 2015

Boleh gak Aku Mengeluh?

Boleh gak aku mengeluh? untuk sekedar melepas segala penat yang ada mewarnai hidup.
Boleh gak aku mengeluh? Kadang aku berharap lebih, akan sebuah jawaban. Namun, Sepasang telinga untuk mendengar pun, atau sepasang mata yang hanya untuk sekedar membaca pun, sudah lebih dari cukup untuk aku bersyukur atasnya.
Boleh gak aku mengeluh? Mungkin Engkau akan mendengar permasalahan pada umumnya, atau membaca permasalah pada umumnya, tapi sepasang telinga untuk mendengar pun, atau sepasang mata yang hanya untuk sekedar membaca pun, sudah lebih dari cukup untuk aku bersyukur atasnya.
Boleh gak aku mengeluh? betapa banyak keinginan yang hendak aku gapai, dan aku takut terjatuh sebelum aku terbang untuk menggapainya. Tapi sepasang telinga untuk mendengar pun, atau sepasang mata yang hanya untuk sekedar membaca pun, sudah lebih dari cukup untuk aku bersyukur atasnya, dan menjadi sebuah keberanian untukku, memulai terbang dengan sayapku.
Boleh gak aku mengeluh? Bukan berarti aku lelah, sama sekali aku tak lelah. Tapi aku hanya butuh sesuatu yang membantu menguatkan pundakku dan memperkokoh keyakinanku dalam melangkah.
Boleh gak aku mengeluh? 
Tersampaikan kepada Dia, Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Januari, 2015. 1:46 WIB, Majalengka

Menoleh Sejenak

"Pengalaman adalah guru terhebat kehidupan." Seperti kata orang bijak, yang entah namanya tak kuketahui sampai sekarang. 
"Hidup itu bergerak maju, tapi sesekali perlu juga menoleh ke belakang, untuk sekedar mengingat dan belajar, lalu mensyukuri keberadaan diri dimana kaki berpijak saat ini, dan tak jatuh ke kubangan lumpur yang sama. Tapi jangan kebanyakan noleh, nanti kejebak masa lalu." haha. Mungkin kusederhanakan saja seperti itu.
Pagi yang tak begitu cerah dan tak begitu mendung, adem, membuat gairah untuk produktifitas terkekang diatas gravitasi kasur yag terlalu kuat untuk dilawan rasanya, ah liburan ini membuat banyak malasnya, dan cuaca mendukung. Kembali terlelap.
Tak begitu lama, sampai "dering telponku membuatku tersenyum di pagi hari~"[sambil nyanyi bernada sumbang], haha just kidding, yang benar adalah “dering telponku membuatku agak melek di pagi hari”. That’s an invitation from my old friends, ya kebetulan mereka juga sedang libur dan mengajakku berkumpul dan hangout, untuk sekedar bernostalgia katanya, maklum, selepas lulus SMA, jarang banget ketemu sama kawan-kawan seperjuanganku ini, alasan klasik, sibuk kuliah.
Melepas rindu, diawali dengan bertanya kabar masing-masing, kabar kuliah, dan lain sebagainya seputar kehidupan masing-masing yang kami jalani selama tak bersua. Menarik, rasanya nyaris genap 3 tahun tak mengobrol asyik seperti itu, rasanya  seperti bertemu kawan baru, pada awalnya, kaku. ah mungkin itu hanya karakterku saja.
Kawan-kawanku ini sudah terlihat makin dewasa ternyata, terakhir kali kuingat, kita masih kekanak-kanakan, dulu, nyanyi-nyanyi gak jelas di kelas ketika guru sedang tak ada, “berkelahi” karena hal - hal sepele nan kekanak-kanakkan, mengobrol asyik dikelas membahas segala hal mulai dari ujung kaler ke ujung kidul, haha masa-masa itu.
Banyak menarik nafas panjang rasanya, selama berkisah masa-masa itu, dimana mungkin kami tak sempat merasakan “indahnya masa SMA”, yang kata kebanyakan orang sih,  masa-masa SMA adalah masa-masa paling indah. Masa dimana si tampan bertemu si cantik, masa dimana si cupu di bully di sekolah, masa dimana bisa hangout bareng kawan-kawan di akhir pekan, atau bahkan momen menunggu pujaan hati di lorong sekolah yang disaksikan semut-semut kecil yang berbaris di dinding yang menatap curiga. Sayangnya kami bukan kebanyakan orang itu. Mungkin hanya secuil kisah indah versi kebanyakan orang yang kami lalui selama menjalani tuntutan lulus SMA dalam 2 tahun saja. But you know? kami punya potongan puzzle kisah indah versi kami, bukan seperti versi kebanyakan orang, sungguh indah, yang bisa kami tertawakan bersama hari ini. Bahagia itu sungguh sederhana.
Hari yang cukup panjang, untuk sekedar menggali memori masa lalu, saling mengingatkan momen-momen yang mungkin sudah terlalu usang dan agak terlupakan, dan teringat kembali, dan kembali bisa kami tertawakan bersama, sungguh nostalgia adalah salah satu kegiatan favoritku akhir-akhir ini.
Sampai pada bahasan, "masa-masa jahiliyah", oh sungguh aku tertegun mengingat semua itu. Nafasku agak tertahan, mengigat sisi lain di masa-masa itu, astagfirullah, mengingat salah satu potongan puzzle masa lalu itu membuatku terdiam, takzim, mengingat dan menghitung berapa banyak waktu yang aku sia-siakan. ah masa-masa itu. [geleng-geleng kepala]. "Terimakasih telah mengingatkan. :)" hatiku berbisik sore itu, selepas hari yang panjang yang telah kami habiskan.
Sebagaimanapun usahaku, sebagaimanapun kencang aku berlari menjauh, sebagaimanapun aku melempar jauh tuk membuang dan mengubur semua memori itu, tetap saja, masa lalu adalah potongan episode kehidupan yang mengantarkanku pada hari ini, sebuah potongan kecil dari puzzle kehidupan yang tersusun rapi bersama potongan-potongan lain yang membangun diriku hari ini. 
Ah aku salah selama ini, aku terlalu naif untuk tak mengakui kepada diri bahwa aku mempunyai potongan kisah kecil itu, dari keseluruhan kisah hidupku hingga hari ini. Potongan kisah yang  patut disyukuri akan keberadaannya, dan tentu menjadi pembelajaran yang sangat berharga untuk hari ini, dan  hari yang akan datang untuk anak-cucuku kelak. 
"Hidup itu bergerak maju, tapi sesekali perlu juga menoleh ke belakang, untuk sekedar mengingat dan belajar, lalu bersyukur atas keberadaan diri dimana kaki berpijak saat ini, dan tak jatuh ke kubangan lumpur yang sama."
-Fauzianrifqi-

Menerima

Susah memang, menerima sebuah kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasi, tak sesuai dengan besarnya harapan dan angan, tak sesuai blue print yang telah disusun jauh-jauh hari. Ya, itu susah, susah untuk diterima hal seperti itu. Manusiawi.
Merajuk? marah? kesal? Lantas, apakah semua itu dapat merubah semua menjadi sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan? Lantas, apakah masih saja kau berdamai dengan sebuah ratapan atas sebuah perasaan kesia-sia-an dari usaha yang telah dilakukan? Ah, lebih tepatnya, apakah masih saja kau buang waktumu dengan hal yang sia-sia itu?
"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin." lagi-lagi terinspirasi dari kata-kata bang Tere yang satu ini. 
Tak serta-merta angin membawa daun jatuh di tempat yang tak tepat. Mungkin saya sederhanakan saja kalimat bang Tere yang penuh arti filosofis itu hehe.
Daun yang beruntung mungkin adalah dia yang terjatuh ditempat yang indah sesuai harapan, tempat dimana daun itu “menua”, lalu mati dalam keadaan tentram hati, tiada angan yang tak tergapai. oh sungguh takdir idaman.
Namun, tahukah kau? ada yang jauh lebih beruntung dari daun tersebut. Dia adalah yang terbang dibawa angin dan jatuh di tempat yang ia tak pernah bayangkan sama sekali dalam  harapnya, dan ia yang tak pernah membenci angin yang membawanya, serta ia yang bersyukur berada di tempat itu, walau tak sesuai angan indahnya. Lalu apa? Lalu ia menua, mengering, dan bersama daun-daun yang jatuh bersamanya, dan memberikan kesuburan di tempat dimana ia terjatuh.
Hidup ini indah, ketika hati gembira, menerima, lalu dapat bersyukur.