Senin, 02 Februari 2015

Rinai Hujan

Bumi berputar terasa lebih lambat dari biasanya. Angin bergerak lembut, menampar  diri, sadarkan betapa dinginnya hari ini, di kota ini, yang terselimuti hangatnya keadaan hati di persembunyiannya.
Rinai hujan yang berjatuhan, mereka yang tak pernah sendiri, menghantam bumi, berirama, menjawab setiap pertanyaan yang tak nyata. 
Langkah kaki yang terasa sangat lambat, seolah tak ingin lekas sampai ke tuju. Inginkan waktu untuk bergerak pelan “tik………..tok…………tik…………..tok…………”
Lalu semua seolah nyata bergerak melambat, sangat lambat. Semua terdengar sangat hening, hening sekali. Gemuruh langkah kaki dan kesibukan manusia di sekitar pun tak terdengar. Hanya rinai hujan yang terdengar syahdu berirama,  menghantam bumi lebih keras terdengar dari apapun, “bum..bum..bum..”. Ah ternyata bukan rinai hujan yang bersuara, bahkan ia pun ikut senyap sama dengan yang lain. Lantas suara apa itu?
Awan mendung, kian mendung, mentari terlalu malu menampakkan diri, enggan tuk tampakkan pelangi, hanya untuk sekedar manjakan mata di balik kaca berkabut ini. Namun, ditengah rinai hujan, di kota ini, aku melihatnya. Bukan oleh mata dibalik kaca berkabut ini, aku melihat lengkungan penuh warna itu, merasakan kehadirannya, oleh mata yang menyimpan berjuta rasa, berjuta tanya, dan berjuta jawab yang tak terucapkan kata. 
Apakah hanya aku  yang melihat pelangi itu di tengah rinai hujan ini?
Waktu yang berjalan pelan, terus berjalan tiada henti, beriringan kaki melangkah, teduh di tengah rinai, di bawah sebuah naungan, dan untuk saat ini secara harfiah kaki sedang melangkah, namun bukan di jalan masing-masing. 
Waktu yang berjalan pelan, terus berjalan tiada henti, mengiringi langkah kaki dan membawanya kepada sebuah persimpangan jalan, untuk kembali kaki berjalan, di jalan masing-masing, untuk sama-sama menguatkan kaki yang lengah dan gontai selama ini, menjadi kaki yang siap berlari mengejar apa yang harus di kejar, menggapai apa yang harus lebih dulu di gapai.
Rinai hujan yang turun dari langit, menjawab berjuta tanya, menjawab berjuta gundah, menampakkan lengkungan itu, yang terbalut dalam sunyi, teredam dalam iman dan terjaga oleh kesungguhan.


Di tengah rinai, di bawah sebuah keteduhan. [Februari, 2015]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar