Senin, 02 Februari 2015

Cerpen: Sebuah Irasionalitas?

"Tuh, liat di film, cowok yang kelamaan ‘jaim’, bakalan nyesel dikemudian hari, ngelihat cewek yang kamu suka bahagia sama orang lain. Nyesel kamu ntar. Dia gak sempet tau tentang perasaanmu." Celetuk seorang anak ABG yang seolah lebih berpengalaman, mengguruiku.
"Come on, it’s a movie, no more, no less." Jawabku ketus, enggan menanggapi lebih lanjut ocehanburung beo satu ini.
"Sakitnya tuh di sini bang. hahahaha" timpalnya, sambil menunjuk dada, ala-ala anak muda jaman sekarang yang gahol.
meghela napas pandek sambil sedikit geleng-geleng, tak menunjukkan wajah kesal, pasang wajah lempeng, lalu sedikit menjitak kepala ABG yang kicauannya sudah seperti burung beo, mencermahiku sejak tadi, sepanjang film yang kami tonton, disetiap adegan romantis dan adegan ngenes pasti dia berkicau mengguruiku, “Realistis napa bang?” ocehnya yang sering aku dengar. 
"Dasar bocah." tanganku sambil ngucek-ngucek bagian kepala yang tadi aku jitak. Anggap saja sebagai tanda maaf.
Disuruh mikir realistis seperti kebanyakan orang dalam hal begini, oleh seorang bocah. Tapi sayang sekali, sepertinya aku bukan sebagian dari kebanyakan orang itu.
***
"Gimana kabar dia?" Tiba-tiba pertanyaan itu mengoyak senyapnya alam, mengorek  pikiran yang sedang konsentrasi di balik kemudi sebuah besi beroda empat.
"Kabar siapa? kabar iman dan taqwa? Alhamdulillah mereka baik saja, kabar istiqomah? dia juga sedang tetap berada di tempatnya gak kemana-mana tuh. hehe" Jawabku mengalihkan arah pembicaraan, yang sebetulnya aku faham betul kemana arah pertanyaan dari orang yang duduk disebelah kemudiku.
Ah, lagi-lagi arah pembicaraan ini menuju ke arah rasionalitas yang memaksaku berpikir sama, berpikir realistis, tapi, sayang aku bukan orang yang realistis versi orang kebanyakan.
***
"Cukup 25 % saja untuk saat ini, itu sudah manis kok,  sisanya, nanti kalau sudah waktunya saja. Untuk saat ini, sampai nanti, percayakan padaku." Senyumnya menentramkan, aku bisa bayangkan itu, walau percakapan ini melalui telpon.
Ditengah pikiran yang bimbang, dengan pertanyaan yang bertubi-tubu “Bagaimana jika…?”, “Tapi kan…?”, “Apa aku menyerah saja dengan ego ku ini…?”, “Apa aku terlalu irasional..?”, “Apa aku terlalu naif..?”.
Seolah sangat faham bergejolaknya kegundahan di hati ini, ia berusaha tentramkan. Seolah mengerti kebingungan hati, ia berusaha tenangkan dengan kalimatnya. Ah memang sangat tepat berbincang dengan orang yang paling kenal diriku sejak aku terlahir, oh bukan, sejak aku berada di dalam rahim tentunya. Pilihan yang sangat tepat.
Tak memaksaku untuk berpikir realistis, hanya memberiku solusi untuk bertahan di jalan ketidakrealistisanku yang kata kebanyakan orang itu.
Terlalu dini memang aku memikirkan ketidakrasionalan ini, terlalu dini memang, aku akui itu, aku masih hijau. Tapi betapa tidak, itu meletup begitu saja, diolah oleh sang pemilik waktu, yang dengan waktunya yang terus berjalan Ia membuat sebuah keteraturan rasa, seolah seperti Big Bang Theory yang mewujudkan keteraturan alam semesta, dan aku tak bisa menolaknya dan pura-pura tak merasakannya. Salahkah aku yang tetap bertahan?
***
"Dalam kehidupan di dunia ini, seiring dengan keberjalanannya, memaksa kita untuk selalu berpikir rasional, hampir disegala aspek kehidupan. Tapi, ada sudut dalam kehidupan ini, dimana irasionalitas adalah hal yang paling rasional. nurani."
Semoga kau tak bosan dengan waktu, yang akan cukup lama jika ditunggu dengan sisi rasionalmu.
Oh tunggu, apakah kau juga sama, berpikir irasional sepertiku? 
Semoga waktu tak bosan melaju hingga ke-irasionalan ini menjadi hal yang paling rasional, bukan hanya versiku, tapi kebanyakan orang pun akan setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar