
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk” (Surah An Nahl : 125)
Sudah
sangat jelas perintah mengenai kewajiban “dakwah” bagi seorang muslim. Dakwah
memiliki beberapa pengertian, secara bahasa dakwah dapat berarti menyeru,
menuntut, meminta, mendorong untuk melakukan sesuatu, do’a. Secara istilah
dakwah dapat diartikan menyeru manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasehat
yang baik hingga mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, keluar dari
kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam. Ada beberapa point penting yang dapat
diambil mngenai dakwah, diantaranya dakwah itu adalah sebuah aktivitas menyeru
dengan objeknya adalah manusia, dengan cara yang “hikmah” dengan nasehat yang
baik, tujuannya adalah agar yang diseru kembali kepada Allah dan mengingkari
kemungkaran dan kembali kepada cahaya Islam.
Dakwah
tidak hanya sebatas menyeru, tetapi dakwah memiliki tahapan tersendiri yang
seharusnya dilaksanakan. Tahap awal adalah menyeru pada kebaikan, mengubah
kejahiliyahan dengan pengetahuan keislaman, tahapan selanjutnya adalah
menjadikan pengetahuan yang diberikan itu menjadi pola pikir objek dakwah,
setelah menjadi sebuah pola pikir hingga timbul gerakan atau aktifitas dari
hasil dakwah tersebut menjadi sebuah aplikasi positif, hingga tujuan awal dari
dakwah tercapai.
Kendala
dalam dakwah salah satunya adalah paradigma yang sudah melekat sejak lama pada
kebanyakan orang awam. Kebanyakan orang beranggapan bahwa dakwah adalah
kewajiban para mubaligh, dakwah itu adalah ceramah-ceramah para mubaligh yang
sering mereka lihat di mesjid atau acara-acara besar, dakwah itu dilakukan oleh
orang-orang alim yang berilmu agama sangat tinggi, dakwah itu dilakukan oleh
orang-orang lulusan pesantren, dan paradigma – paradigma lainnya yang sudah
sangat melekat pada kebanyakan orang. Paradigma inilah yang mesti diarahkan
kepada jalan yang semestinya.
Dengan
adanya mentoring di kampus, diantara kalangan mahasiswa yang notabene merupakan
pemuda, para penuntut ilmu, bibit-bibit manusia berkualitas pelurus bangsa ini,
menjadi langkah awal tersendiri dalam merubah paradigma lampau mengenai dakwah
tersebut. Dilakukan oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa, sama-sama belajar dan
saling ingat –mengingatkan dalam kebaikan, saling memberi contoh yang baik,
saling memberi tahu apa yang masing-masing sudah diketahui. Merubah alur dakwah
yang tadinya satu arah antara “si pemberi” dan “si penerima” menjadi “saling
memberi”. Diharapkan dari hal tersebut terus menjadi follow up dakwah kampus
yang terus kontinyu hingga jenjang yang lebih tinggi. Sebagaimana trilogi
dakwah kampus yang menyatakan bahwa mahasiswa merupakan Agent of change and Iron Stock yang sangat berpotensi dalam mengembangkan
dakwah kampus, merubah paradigma konvensional kebanyakan orang mengenai dakwah.
Kendala
lainnya yang menghambat jalannya dakwah adalah kebanyakan orang merasa bahwa
dirinya belum cukup ilmu untuk menyampaikan kebaikan, minder, merasa tidak
pantas dan lain sebagainya. Coba kita pikir, jika kita terus berasumsi bahwa
ilmu kita belum cukup untuk menyampaikan kebaikan, dari situ seharusnya muncul
pertanyaan “Saat ilmu itu berhasil kamu tumpuk hingga kamu merasa cukup
berilmu, masihkah nyawa dikandung badan?” Sungguh ilmu itu sangat luas bahkan
jika seluruh pohon menjadi pensilnya dan samudera menjadi tintanya, takkan
mampu menuliskan seluruh ilmu yang Allah anugerahkan untuk dipelajari.
“Sampaikanlah ilmu walau satu ayat” sudah jelaskan perintahnya? Ilmu yang
diamalkan walau sedikit akan lebih
bermanfaat dibanding ilmu yang ditumpuk untuk diri sendiri. Paradigma
konvensional itu mesti dirubah, pemikiran-pemikiran pesimisme harus diubah
menjadi pemikiran optimisme. Jika saat ini merasa minder karena ketidakmampuan
diri, jangan “melarikan diri”, tapi cukupilah kapasitas diri.
Ghozwul fikri menjadi
tantangan terbesar dakwah saat ini, pemikiran-pemikiran pesimisme dan paradigma
konvensional menjadi akar permasalahan dakwah. Namun dengan adanya tantangan
besar tersebut akan melahirkan da’i-da’i tangguh, pementor –pementor tangguh yang
akan merubah paradigma konvensional tersebut. Dengan basic mahasiswa, seorang
yang haus akan ilmu duniawi, juga harus haus akan ilmu akhirat, terus
mengupgrade pengetahuan mengenai hubungan manusia dengan Allah, mengemas
dakwahnya dengan seapik mungkin hingga mencetak kader-kader penerus dakwah
kampus.
Dan yang terpenting
adalah terangi diri seperti engkau menerangi sekitarmu. Seorang pementor ideal
jangan seperti lilin, menerangi sekitar tapi dirinya terbakar hingga habis dan
tak mampu menerangi sekitar lagi, seolah yang disampaikan hanya sebuah bualan
yang tak dilakukan oleh dirinya sendiri. Jadilah seperti matahari yang
menerangi bumi sepanjang hari, bahkan disaat malam hari cahayanya masih dapat
terlihat dari pantulan sang rembulan.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash shaff : 2-3).
Sudah sangat jelas bahwa sangat perlu
berhati-hati dalam berdakwah, jangan sampai apa yang disampaikan sama sekali
tidak mencerminkan diri, sama sekali tidak pernah dilakukan, samasekali itu
hanya sebuah kemunafikan diri yang tujuannya bukan karena Allah. Untuk itu
perlu meluruskan niat terlebih dahulu sebelum berdakwah, sebelum melaksanakan
kewajiban, tanya pada diri untuk apa melakukan hal tersebut, apa tujuannya
melakukan hal tersebut, sungguh sebaik-baiknya niat adalah karena ridho Allah,
lillahita’ala.
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Ash
Shaff : 4).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
sholeh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati
supaya menetapi kesabaran” (Al Ashr : 1-3).
Wallahualam bisawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar